Hari Minggu cerah tepatnya Tanggal 3 November 2004, 17 Tahun lalu. Hari itu biasanya orang-orang bertamasya bersama kekasih pujaannya atau bercengkrama ria bersama keluarga di rumah---mungkin saja mereka pergi ke tempat hiburan atau melakukan hal lain yang menyenangkan, tidak terkecuali si Naufal adalah mahasiswa semester VI sastra Prancis yang nampak bergegas dari kostan nya yang kumuh menuju ke suatu tempat kencannya yakni perpustakaan atau toko buku.
Di saku kemejanya yang lusuh tergolek uang recehan yang tidak sempat ia hitung terlebih dahulu. Dia menunggu bus jurusan Depok---Lebak Bulus di halte sebelah rumah makan padang sambil sesekali memandangi jalan legam yang tak bertrotoar, tak lama kemudian bus itu tiba dan ia bergegas tuk naik bus tersebut.
Tidak lama berselang kenek yang biasa melakukan pekerjaan rutinitasnya meminta ongkos dan dengan terpaksa dia merogoh uang recehan tersebut untuk membayar ongkos angkot tersebut yang nampak lengang dari penumpang.
Sambil berpikir panjang diambil rokok di tasnya yang kumal, dibakarnya dan dihisap dengan nafas panjang, tumben pagi tadi dia beli rokok ketengan di warung Mpok Ati, biasanya dia ngebon disana, kalau saja dihitung hutangnya di warung Mpok Ati mungkin dia tidak mampu untuk membayarnya.
Naufal nampak tenang dan berharap banyak agar nantinya setelah dia sampai di tempat yang dipujanya akan bisa membaca beberapa teori dan kritik sastra di toko buku, maklumlah dia tak mampu untuk membelinya, membayar uang kost saja sudah sulit apalagi membeli buku original, haruslah dia pintar-pintar menyematkan keindahan akademis dengan cara seperti ini.
Kalaulah belajar dia biasanya menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan---karena memang kawan-kawan sekelasnya menyebutnya macan perpustakaan, faktanya dia jarang keluar kost.
Kesehariannya dihabiskan hanya untuk berkencan dengan buku---kalau baru dapat kiriman dari orang tuanya di kampung dia tidak segan-segan tuk mengkopi buku milik dosennya yang biasanya disambanginya---terkadang dia terpaksa tidak makan dua hari demi untuk memfotokopi buku idolanya, begitu gilanya ia studi dan keranjingan buku sampai ia lupa menyisihkan untuk uang kost atau bahkan sampai lupa pula tuk berkencan dengan lawan jenis karena alasan material.
Diantara gedung-gedung yang menjuntai ke arah faktual tersiar suatu ilmu absolut disitulah tertambat Berbagi kemapanan yang terinspirasi oleh keinginan hatinya, komik, novel, buku-buku, jurnal dan berbagai pernak-pernik informasi baru seolah menggeliat hendak tuk ditelan.
Tak jauh dari gedung itu, dia turun di halte kemudian dengan garangnya ia melangkah ke mall, sudah jam 3 lewat seperempat dia menoleh ke toko jam, dia memperhatikan wanita-wanita belia lajang yang menandakan suatu kemapanan dari luar.
Dia berpikir inilah dunia dan budaya pop yang merajai Jakarta---maklumlah saat itu sedang tenar-tenarnya dengan fashion ala hip style, kalaulah ditilik memang tidaklah seperti wanita di kampungnya yang kuno dan lugu yang biasanya memakai kerudung atau kebaya.
Kalaulah dihitung-hitung diantara para pengunjung mall tersebut mungkin dialah salah satu manusia asing yang terisolasi di tempat itu, tetapi dengan berbekal keyakinan akan menemukan keindahan yang bisa direguknya, dia tidak menghiraukan manusia kaleng itu.