Selesailah sudah semua, plit plit komplit. Timnas U-19 babak belur di Piala AFF Myanmar, timnas u-23 di hajar Thailand 6-0 di Asean Games Incheon, Korea selatan dan baru saja timnas Senior dihajar Filipina 4-0 di Piala AFF 2014.
Alfred Riedl kembali memaksakan pola kesukaannya dengan umpan-umpan lambung dari belakang ke depan. Berkali-kali ia mengangkat tangannya memberikan instruksi agar para pemain belakang memainkan terus pola ini.
Filipina banyak diperkuat oleh pemain naturalisasi yang mempunyai postur tubuh tinggi.Kembali memainkan umpan-umpan panjang ke depan tentu menjadi tidak efektif.Kelemahan alamiah Indonesia adalah postur tubuh. Adalah bodoh jika terus menerus mengandalkan taktiklong direct pass seperti ini apalagi jika bertemu lawan dengan postur yang lebih kokoh.
Mengapa Alfred Riedl memaksakan taktiklongpassatau umpan-umpan panjang ke depan dan bukan meminta para pemainnyamembangun serangan dengan sabar dari bawah melalui umpan-umpan pendek dan baru melepaskan umpan diagonal ke arah luar memanfaatkan kekuatan penyerangan dari sayap pada saat yang tepat?
Apakah karena Sergio Van Dijk bertubuh tinggi besar maka semua bola harus diarahkan kepadanya? Nyatanya cukup dijaga satu pemain belakang lawan, Van Dijk sudah mati kutu.
Sepak bola Indonesia memang sudah lama dicekoki dengan gaya yang satu ini. Gaya long direct pass (umpan lambung) menuju striker. Semua kesal, termasuk penonton yang menyaksikan melalui layar televisi.
Sebenarnya tanpa diinstruksikan pun, para pemain akan melakukannya dengan senang hati. Mengapa? Karena karakter umpan panjang ini sudah lama terbentuk dengan sempurna dipikiran para pemain belakang kita. Hal ini bisa kita lihat di kompetisi ISL.
Bukankah hampir semua klub ISL menggunakan jasa striker asing selama bertahun-tahun ? Wajar taktiklongpass tertanam kuat di benak seluruh pemain karena terbiasa menyerahkan tanggung jawab mencetak gol kepada striker asing yang begitu diandalkan di depan.
Inilah sepak bola tarkam yang kembali diusung timnas senior melalui pelatih hebat Alfred Riedl. Sepak bola semacam ini sudah lama ditinggalkan bahkan di Inggris sekalipun. Tidak efektif sama sekali. Sepak bola itu agak sedikit mirip dengan permainan bola voli, harus ada yang mengumpan bola supaya tukang gebuk bisa beraksi melakukan smash.
Ketika Riedl memainkan empat penyerang sekaligus dengan menarik keluar Firman Utina, maka semua pemain depan hanya memukul angin karena tidak ada lagi supply bola dari lapangan tengah.
Indonesia sudah pasti tersingkir diajang Piala AFF ini, tanpa perlu lagi membuat hitung-hitungan yang rumit. Waktunya kembali ke bumi setelah sempat punya angan-angan menembus dunia dan harus menyadari, ternyata kelas kita bahkan belum sampai di kelas Asia Tenggara.
Kembalilah ke pola baku standar pembinaan. Menggelar kompetisi berjenjang dari U-15, U-17, U-19, U-21, dan U-23. Tidak ada yang instan di sepak bola. Menaturalisasi pemain tidak ada manfaatnya kalau tidak berkualitas.
Kemudian menjalankan roda kompetisi LSI dan Divisi Utama dengan teratur sehingga tidak ada alasan timnas kelelahan karena baru saja selesai mengikuti kompetisi.
Tetapi untuk menjalankan semua ini dibutuhkan revolusi mental seperti yang dikatakan oleh Presiden Jokowi. Setujukah anda revolusi mental di PSSI?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H