Lihat ke Halaman Asli

Migrasi Perawat Indonesia: Mengapa?

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1413369979147976254

[caption id="attachment_366700" align="aligncenter" width="504" caption="Anggota PPNI tengah berdemo memperjuangkan RUU Keperawatan di Maret 2010 (dok. Yudi Ariesta Chandra)"][/caption]

Tantangan yang dihadapi masyarakat duniamakin besar dengan terjadinya shortage of nurses, yaitu keterbatasan jumlah perawat terutama bagi negara maju. Sejak tahun 1970 migrasi internasional meningkat dua kali lipat jumlahnya.Pada2004 sebanyak 192 juta orang bermigrasi.Diramalkan pada tahun 2020, dua ratus tiga puluh jutapenduduk dunia adalah migran termasuk 1.5 juta tenaga kesehatan professional, terutama perawatyang merupakan 80% dari tenaga kesehatan global. Di Indonesia 60% dari tenaga kesehatan adalah perawat. Kondisi kerja yang buruk, resiko kerja yang tinggi dengan beban kerja yang berat namun gaji dan insentif yang rendah serta sistem jenjang karir yang belum tertata merupakan beberapa push factors yang mendorong tenaga kesehatan Indonesia, terutama perawat untuk bermigrasi dan bekerja di negara lain yang menawarkan tingkat kesejahteraan yang lebih baik dan kesempatan mendapatkan kompetensi lebih tinggisebagai pull factors dari Negara maju.

GATS telah disepakati sejak 1994,sehingga migrasi tenaga kesehatan professional, khususnya perawat Indonesia ke berbagai Negara menjadi suatu peluang besar bagi Perawat Indonesia.ICN dan PPNI menegaskan bahwa menjadi hak tiap individu perawat untuk bekerja di negara manapun dan dihargai sama berdasarkan kompetensiyang dimiliki, memperoleh perlindungan hukum dan pengakuan yang setara dengan yang berlaku di negara lain. Penempatan perawat bekerja di negara lain, merupakan solusi jangka pendek dan menengah, dan Pemerintah bertanggung jawab untuk penataan sistem SDM Kesehatan jangka panjang.

Menuju Perawat masa depan di era globalisasi menuntut adanya self governance dan self regulated atas profesi. Tanpa kemandirian profesi, maka akan sulit untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia. Globalisasi sangat berhubungan dengan kompetensi dan pengakuan yang dikuatkan secara hukum atas kompetensi yang dimiliki oleh perawat di tingkat nasional dan global.  Perawat Indonesia bisa menjadi tamu di negara kita sendiri, sementara perawat asing akan melenggang masuk ke Indonesia, apabila Undang Undang Keperawatan tidak segera diimplementasikan.

Perawat Indonesia yang bekerja di Luar Negeri tentu saja yang sudah memenuhi kualifikasi yang ditetapkan oleh negara yang dituju seperti Belanda, Kuwait, Qatar, USA, Jepang.  Berarti mereka memiliki kompetensi yang mampu bersaing dengan negara lain.  Terbayangkah apa yang akan terjadi 10 tahun atau 20 tahun ke depan, apabila Pemerintah dan pihak lain yang berkepentingan dengan pelayanan keperawatan tetap berperan di negara ini..., Indonesia akan mengalami brain drain..., perawat terbaik kita akan ke luar dari Indonesia. Akankah kita biarkan kondisi yang dialami oleh Philippines juga terjadi di Indonesia.  Lalu apa yang membuat perawat Indonesia mengurungkan atau menunda niatnya untuk bekerja ke luar negeri.  Jawabannya sangat sederhana... buat perawat Indonesia betah bekerja di Indonesia.

Hasil penelitian Yani Hamid dkk (2014), terhadap perawat Indonesia yang bekerja di Belanda, Kuwait dan Jepang, karena berharap memperoleh kompetensi yang lebih tinggi, kesejahteraan yang lebih baik dan seimbang dengan yang mereka lakukan berdasarkan kompetensi, dan bekerja di lingkungan dengan suasana kerja antar profesi dan tim  kerja yang kondusif dan nyaman.  Penelitian ini juga melaporkan faktor yang mendorong perawat memilih bekerja ke luar negeri adalah: 1) merasa tidak dihargai sebagai profesi dan tenaga professional oleh profesi lain; 2) lingkup kerja tidak jelas dan banyak melakukan tugas limpah dari profesi kesehatan lain; 3) dukungan politis yang lemah; 4) terbatasnya perlindungan kerja dan prospek pengembangan; 5) beban kerja yang berat; 6) keterbatasan fasilitas kerja dan penunjang; 7) terbatasnya peluang untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan lanjutan, dan; 8) Gaji yang sangat rendah dan status kepegawaian yang tidak jelas.

Jadi, jangan mencerca perawat ketika mereka demo menuntut haknya, sambil mengatakan bahwa, "keperawatan itukan profesi tidak boleh demo." Sementara ketika perawat menuntut hak jasa profesi dari rumah sakit, dikomentar bahwa "perawat kan karyawan bukan profesi, jadi jangan menuntut jasa profesi."

Menjadi tanggungjawab kita bersama, terutama Pemerintah untuk memberdayakan, mencerdaskan, mensejahterakan dan memanusiakan perawat Indonesia, sehingga perawat Indonesia lebih memilih untuk bekerja di negara sendiri, daripada harus merantau ke negara lain.  Bahkan yang sudah lebih berpengalaman dengan keterpaparan perkembangan keperawatan selama bekerja di luar negeri, akan kembali ke Indonesia dan mentransfer ilmu pengetahuan dan tehnologi yang dikuasainya kepada sejawat perawat yang lain. Pemerintah baru di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, sejuta perawat Indonesia berharap yang terbaik akan terwujud bagi masyarakat Indonesia, karena bersama perawat, masyarakat sehat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline