Lihat ke Halaman Asli

Yusuf Baktihar

Early Childhood Educator

Maraknya Bullying Indikasi Merosotnya Selera Humor Anak

Diperbarui: 17 Mei 2020   14:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kasus bullying seringkali kita dengar dari berbagi macam media sosial. Mudahnya akses penyebaran informasi membuat kita cepat mendapatkan cerita dari suatu tempat yang jauh sekalipun. Ditambah jika berita tersebut menjadi viral, maka seluruh pelosok negeri ini akan tahu melalui ponselnya masing-masing.

Anak dibully biasanya pada sisi fisik dan karakter. Misalnya anak terlalu pendek, atau terlalu tinggi. Anak terlalu kurus, atau terlalu gemuk. Ada anak pendiam atau terlalu mudah emosi. Sehingga teman-teman di sekolahnya terpancing untuk melakukan tindakan yang berpotensi ancaman.

Jika kita cari sumber berita dari korban, maka semua kesalahan akan berpihak kepada pelaku. Bahkan jika sampai melukai fisik, akan muncul kasus kejahatan. Coba sekarang kita tinjau dari sisi lain bullying. Sisi orang yang selama ini dianggap anak nakal. Alasan mereka melakukan tindakan tersebut itu apakah benar-benar karena ada unsur negatif atau hanya sekedar humor.

Dulu ketika saya masih sekolah. Kasus bullying tidak semarak sekarang. Olok-mengolok atau saling ledek antar teman itu menjadi cara becanda di kelas. Ada yang sampai menyebut nama orangtua dan profesinya. Misalnya anak petani, anak supir dan seterusnya. Tapi kemudian si korban akan membalas dengan guyon kepada si pelaku. Sehingga terciptalah harmoni keakraban antar teman meskipun dari sudut pandang norma sosial dan agama dianggap salah.

Ini menunjukkan bahwa sebenarnya bullying itu ada sejak dulu. Tetapi bagi pelaku maupun korban menganggap itu sebagai bahan humor yang tidak berdampak besar. Jika ada anak terlalu kurus diledek kemudian menangis, maka akan muncul potensi diledek ulang dengan tambahan "kurus cengeng" misalnya.  Padahal pelaku tidak hanya mengatakan kurus kepad anak tersebut saja. Banyak anak yang menjadi "korban" ledekan. Tapi ada yang merespom sebagai humor dan ada yang merespon sebagai ancaman, kemudian kelak dikenal sebagai bullying.

Menjelaskan kepada anak bahwa ledekan teman itu bermula dari gurauan memang susah. Ditambah jika orangtua tidak begitu  humoris. Terlalu serius dan disiplin sehingga anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang kaku.

Bullying tidak akan terjadi kepada anak yang memiliki selera humor tinggi, anak futsal atau basket dan anak beladiri. Maka sekolah memiliki kewenangan untuk menjadikan salah satu ekstrakurikuler tersebut sebagai pilihan wajib yang harus diikuti. Sehingga anak  tidak hanya tumbuh menjadi pribadi yang cerdas, tapi juga berbadan sehat dan bermental kuat.

Orangtua juga perlu menjelaskan kepada anak bahwa mengikuti ekstrakurikuler itu secara tidak langsung akan menjadikan anak terhindar dari ancaman yang sifatnya fisik maupun sosial. Sehingga tidak akan ada lagi budaya lucu-lucuan dan humor di sekolah yang mengakibatkan bullying.

Yusuf Baktihar, Trainer Tumbuh Kembang Bayi dan Guru Preshool

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline