Lihat ke Halaman Asli

Memahami Riba Seutuhnya

Diperbarui: 21 Juni 2018   08:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Riba sudah mafhum dikenal kaum muslim sebagai salah satu dosa besar. Semua ulama dan juga semua syariat dari para nabi yang diutus mengharamkan riba.  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Melakukan riba hukumnya haram berdasarkan al-Qur`an, as-Sunnah, dan ijma'."

Namun, kebanyakan orang saat ini memahami riba hanya sebagai perkara "dosa" pribadi perorangan, yang tidak akan membatalkan keislaman orang yang bersangkutan. Memang tidak salah, namun keliru memandang riba hanya sebagai "dosa perorangan" akan mengakibatkan ummat tidak dapat memahami karakteristik riba secara utuh, efek yang dihasilkan, dan bagaimana melawannya.

Hal utama yang harus kita pahami adalah; mengubah pandangan kita akan riba bahwa riba bukan hanya persoalan maksiat nafsi-nafsi, RIBA adalah salah satu bentuk khutuwat (strategi) setan.  Setan memiliki sumpah untuk menyesatkan manusia dengan berbagai khutuwatnya, salah satu strategi yang paling jitu adalah berupa riba. Tentu tujuan utamanya adalah agar dapat menyesatkan manusia sebanyak-banyaknya sehingga lupa dari perannya sebagai 'abid dan khalifah di muka bumi.

Riba sebagai Strategi Setan?

Sederhananya, riba adalah katalis bagi hawa nafsu manusia agar bisa mendapatkan segala yang diinginkan dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini benar-benar dimanfaatkan oleh setan untuk mempengaruhi manusia yang haus akan gaya hidup berlebihan di dunia. Sekian abad berlalu, riba menjelma menjadi sistem ekonomi yang berhasil mempengaruhi pola kehidupan manusia.

Dengan riba, negeri di barat memiliki sumber pendanaan tak terbatas untuk melakukan peperangan bahkan penjajahan. Bangsa eropa yang dulu tak diperhitungkan, menjadi bangsa yang superior dalam waktu yang singkat. 

Penyebaran Islam terhenti di daerah yang disuntik dengan pinjaman peperangan dari Riba. Muslimin seperti mati langkah saat menghadapi eropa (Prancis, Inggris, dsb). Muslimin saat itu melawan musuh yang salah. Musuh sebenarnya berlindung dalam bentuk sistem riba. kerajaan di eropa hanyalah debitur, konsumen untuk berhutang. Selama instusinya pemberi modal ribawinya tidak diperangi, kerajaan, negara dan atau konsumen riba lainnya tetap akan memiliki pendanaan yang melimpah. Mari cek negara adidaya saat ini, Amerika. Berapa utang mereka? Dan berapa anggaran untuk peperangan dari modal utang ribawinya?

Dengan riba, negeri-negeri liberal dan sekuler menjelma menjadi "NEGARA MAJU", riba kian mengkarbit kemajuan teknologi, dimulai sejak revolusi industri dengan suntikan modal utang ribawi perbankan untuk swasta. 

Bangsa barat disangkakan sebagai sokoguru perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi oleh banyak orang. Kaum muslimin tertegun, merasa orang barat lebih superior dalam kecerdasan, muslimin merasa tertinggal dalam pendidikan, terbuai mengikuti model pendidikan mereka. Padahal dulunya, ulama kaum muslimin merupakan sentra ilmu bagi mereka.

Penyelenggaraan negara pun tak luput dari pesona riba, hampir semua negeri ikut hanyut dalam pola pembangunan negeri dengan dimodali utang ribawi demi disejajarkan menjadi "NEGARA MAJU". 

Bagi orang-orang yang gegar ekonomi saat ini, dimana mereka hanya tahu mekanisme ekonomi makro di kulitnya saja, ramai-ramai mengamini langkah negara berhutang. Semua berdalih, "demi kemajuan bangsa, utang boleh selama fiskal negara sehat". Mereka tak melihat kerapuhan ekonomi ribawi yang saat ini mereka terpukau atasnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline