Ketika ingin berbicara tapi tak tahu bagaimana harus berucap. Saat rahasia-rahasia ingin diungkap, tapi malu ada yang tersingkap. Waktu rindu hanya menemui ruang yang semu. Ketika kemarahan, cinta, benci, luka, air mata, dan banyak lainnya, tak tahu ke mana akan dialirkan, di situlah akan banyak lahir puisi.
Tapi kenapa harus puisi?
Karena puisi ditulis lebih mewakili pribadi. Kita dapat bersembunyi lewat kata-kata yang terang, atau menampilkan apa adanya melalui diksi-diksi yang kelam. Bisa ditulis sekenanya, atau melalui pengendapan yang lama. Bisa dengan kata-kata lugas, atau menggunakan majas.
Puisi bisa merekam dan mengabarkan peristiwa. Lewat media cetak atau - kini - media online. Puisi dapat melihat sepi di tengah keriuhan. Ia juga bisa membaca tepuk tangan di tengah kesedihan.
Bercerita tentang embun pagi atau kemarahan yang berapi. Menerjemahkan hujan dengan linangan air mata atau kegembiraan.
Menggeram di dinding kota: "Tuhan, kami lapar!"
Atau bersunyi-sunyi lewat buku diary.
Atau seperti Taufik Ismail, bercerita tentang tiga gadis kecil, datang ke Salemba, turut berduka, untuk kakak yang tertembak siang tadi (puisi Karangan Bunga).
Bisa juga menjadi WS Rendra: "... Karena kami diancam/ dan kamu memaksakan kekuasaan/ maka kami bilang tidak kepadamu ...." (Sajak Orang Kepanasan).
Dan Joko Pinurbo, melihat kaleng Khong Guan bisa menjadi beberapa puisi. Ini salah satunya.