Lihat ke Halaman Asli

Ayah Tuah

TERVERIFIKASI

Penikmat kata

Puisi: Sawah Bapak dan Pesulap dari Kota

Diperbarui: 11 Juni 2021   22:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi sawah kering. Sumber: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

Rasanya belum kering keringat Bapak pada sawah yang cuma sepetak, mengalir pada buku-buku sekolahku, beriringan dengan gemetar doa Ibu.

Dan langkah kakiku diikuti tatap penuh harap

"Bawa lampu-lampu ke sini. Rumah kita terlalu lama diliputi kegelapan," kata Bapak pada suatu percakapan yang letih 

Kuselipkan keringat Bapak pada lipatan buku. Juga kubawa bau lumpur, harum rumpun padi, dan kulit Bapak yang menghitam karena matahari, agar kami tak lagi mengalami musim-musim gugur 

Namun, kini sawah Bapak pecah sebelum aku memegang ijazah. Bapak bergeming untuk berkata tidak untuk tawaran harga tanah yang dibayar murah 

"Kami adalah pesulap", kata sesuara. "Kampung ini dalam sekejap akan menjadi kota."

Dan kota ternyata berwujud angkara. Mengelilingi sawah Bapak dengan tembok-tembok penuh jemawa. 

Sawah kering, air tak lagi mengalir. Dibendung berkumpul di bola mata Bapak 

***

Lebakwana, Juni 2021 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline