Tersebab apa tadinya agak sulit Mappatadang untuk menguraikannya. Mungkin semacam ketakberdayaan menjunjung beban. Ditambah rasa jengkel dan marah. Dendam? Mungkin tidak. Menegakkan harga diri? Kalau ini ditanyakan kepada ayahnya tentu akan dijawab, "ya".
Ada rasa gentar. Takutkah ia menghadapi Pattasina?
Kini empat tahun sudah. Rasa putus asa, ketakutan-ketakutan, dan bagaimana menghadapi Pattasina itu selalu menghantui pikiran Mappatadang.
Bagaimana kalau ia yang terbunuh? Tentu ayahnya yang tua itu yang akan mencari Patta, ke ujung dunia sekalipun. Bagi ayah Tadang, perbuatan Patta itu tiada ampun.
Ini sirri! Cuma darah Pattasina pengobatnya.
Dan seperti gila rasanya Tadang memasuki setiap negeri mencari keberadaan Pattasina, menghabisi saat itu juga. Tapi Patta seperti ditelan bumi.
Akhirnya perjalanan waktu jua yang meluruhkan hati Tadang. Seperti ada pencerahan batin dalam dirinya. Mappatadang meyakini dirinya sendiri bahwa ini perjalanan spiritual.
Kini perasaannya terasa lepas. Takada lagi terasa beban yang menghimpit. Bila nanti ia ditakdirkan bertemu dengan Pattasina, itu adalah pertemuan dua sahabat.
Patta, sedang apa dia kini?
Tadang mengenang kembali saat-saat bersama Patta dahulu. Patta seperti sudah menjadi bagian keluarga Tadang. Begitu juga sebaliknya. Mereka selalu bermain berdua, atau bertiga dengan Marwa, adik perempuan Tadang. Marwa adalah gadis cantik yang sedang mekar-mekarnya.