Setiap kali menapaki Desember, kita seperti diingatkan tentang jejak yang ditinggalkan. Musim-musim: Cinta yang berangkat dan rindu yang pulang; kemarau, hujan, angin. Pohon-pohon buah mulai berputik. Rumput-rumput, gulma, harusnya dibersihkan
"Bagaimana dengan hati," sesuara, tiga rumah jaraknya. Menjemur kenangan yang selalu basah
Cuaca tak menentu. Kita sering berebut kehangatan. Matahari sering ditutupi awan. O, ya, pagi tadi terlihat pelangi. Mungkin sebuah pertanda. Atau tak mengisyaratkan apa-apa
Seseorang, entah siapa, sedang menghitung berapa irup teh yang ia minum pagi ini. Pada tubuhnya terlihat ada tersisa sedikit puisi. Tapi puisi selalu berjalan di ruang sunyi. Maka dia menertawai dirinya sendiri. Anak-anaknya yang beranjak dewasa tak lagi sering menyapa
Sekarang Desember. Orang itu sudah mempersiapkan kalau hatinya akan selalu hujan
***
Lebakwana, Desember 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H