Cerita-cerita, kenapa selalu dimulai dengan pertemuan tak sengaja, seperti halnya diriku terhadap dirimu. Awalnya aku tidak ingat, dan kau pun mungkin sudah lupa.
Coba kembali kita buka. Mana bisa kita mengira, apakah kita bersua saat di stasiun kereta, bersama keramaian ketika sama-sama akan berangkat kerja, atau bertegur sapa di simpang jalan tak bernama. Waktu aku pulang dari Selatan, dan kau sedang menuju Utara.
Atau yang ini, kau duduk di sana mengerling manja. Aku mencoba menghampirimu dengan menenangkan gemuruh dalam dada, di sebuah pesta teman sejawat kita. Seorang biduan mengalunkan, Lagu untuk Sebuah Nama *).
Akhirnya, di sebuah taman penuh bunga.
Aku mencoba menghindari bicara tentang cinta, dan janji-janji yang melambung setinggi angkasa. Aku hanya berisyarat mengajakmu meniti tangga-tangga, pada sebuah rumah yang nanti akan kita penuhi dengan cahaya. Kau tersipu, diam seribu bahasa, tapi kemudian mengangguk, sebagai tanda, "iya".
Dan kita bersama melewati beribu-ribu senja. Ada kemarau, hujan, tangis dan gelak tawa. Juga bersua jalan datar, bergelombang, dan aral melintang menguji kesabaran kita.
Sesekali pandangan mata terhibur dengan secarik bianglala, di ujung langit sana. Setelah selesai tanah basah, seperti hanyut segala duka.
Tentu kita pernah tak sepaham makna, sedikit bersilang kata. Tapi itu adalah cara terindah untuk mengajarkan kita arti cinta yang sebenarnya.
Kini anak-anak telah tumbuh dewasa, dan menempuh jalan yang berbeda. Mereka telah membuat kisahnya sendiri, yang - tentu saja - tak mungkin sama.
***