Sebuah siang telah turun pada sebuah sajak, kata-kata menjadi kerontang, suara-suara menjadi teriakan di hamparan sunyi, membentur tebing, memantul bersipongang
Sang penyair pun mengambil alegori, tentang amsal dikatakan sebagai misal, agar huruf-huruf tak terjun liar, membentuk kata-kata yang keluar dari pikiran bebal
Sebuah ironi di negeri bawah matahari, cinta dan benci menjadi hujan hyperbola membanjiri sungai linimasa, sarkasme menjadi sarapan pagi, menikam yang tak sehati, membenar-benarkan kelompok sendiri
Akhirnya kata-kata menjadi komoditi, tergantung siapa yang membayar lebih tinggi
Tinggal pilih: Sinisme penuh api atau eufemisme yang membungkus belati
***
Cilegon, Juni 2020.