Siapa Pak Kardi?
Tak perlu repot-repot mencari di mesin pencari. Kalaupun ditemukan nama Kardi, bukan itu yang penulis maksud. Pak Kardi bukan siapa-siapa, dia hanya orang kebanyakan, orang yang masuk dalam kelompok marjinal.
Dan nama Kardi bisa berubah menjadi nama siapa saja; bisa Parto, Yono, Dulah, atau siapa saja. Dan dia bisa menjadi nama-nama perempuan: Isah, Juju, Sri, atau terserah siapa saja. Mereka adalah yang berkecimpung dalam dunia kerja yang mengandalkan otot, seperti tukang ojek, pedagang kecil, pedagang kaki lima, buruh, kuli bangunan, pembantu rumah tangga, dan sebagainya.
Pihak Kantor Kelurahan mencatat orang-orang seperti Pak Kardi adalah kelompok yang mendapatkan Kartu Sehat, Kartu Pintar, dan bermacam kartu gratis lainnya. Ahli Tata Kota mungkin menempatkan mereka sebagai orang-orang yang tinggal di kawasan kumuh (slum). Kantor Polsek mungkin mengindikasikan mereka sebagai kelompok yang berpotensi berbuat kriminal. Dan Kantor Statistik mengelompokkan orang-orang semacam Pak Kardi adalah kelompok yang hidup "di bawah garis kemiskinan".
Mereka tidak peduli dengan ingar-bingar susunan kabinet terbaru. Siapa menjadi menteri apa, mereka tak mengerti. Nama-nama seperti Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, Menteri Keuangan, dan lainnya itu tentu mereka pernah mendengar. Tapi siapa yang menjabat, bukan urusan mereka.
Gojek tahu. Nadiem Makarim, siapa dia? Jokowi? Yang menjadi Presiden itu, kan?
Hidup mereka habis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pergi pagi pulang petang, terkadang ditambah sampai malam hari. Tidak hutang saja sudah hebat namanya. Dalam setahun anak mereka tidak diperingati pihak sekolah karena telat membayar uang sekolah, itu suatu prestasi tersendiri.
Pak Kardi selalu kita temui hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dia hidup di sekeliling kita, atau tetangga kita, atau orang terdekat kita, atau, bahkan mungkin pada suatu masa kita pernah menjadi "Pak Kardi".
Atau barangkali, saat ini kitalah yang menjadi Pak Kardi.
Pak Kardi tidak mengerti, apakah para menteri itu dari kalangan profesional atau dari partai, apakah harus berbaju putih atau mengenakan batik, duduk lesehan atau sambil berdiri. Pak Kardi tidak peduli.
Pak Kardi peduli kalau pagi ini ia lolos dari hardikan rentenir , karena urusan utang-piutang. Riba? Haram? Maaf, kata-kata itu masukkan saja dalam kantong.