Lihat ke Halaman Asli

Ayah Tuah

TERVERIFIKASI

Penikmat kata

"Rambo V: Last Blood", Narasi-narasi Banal dan Mimpi-mimpi yang Sakit

Diperbarui: 27 September 2019   23:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Poster Film Rambo V, Last Blood. Gambar diambil dari Wikipedia. 

Jelang akhir tahun 80-an Arswendo Atmowiloto pernah menulis di Tabloid Monitor, Apa Film Laris Tahun 2.000? Jawab: Rambo Jilid 20. Waktu itu film  Rambo III sedang diputar, dan bioskop selalu disesaki penonton.

Para pemerhati film terheran-heran, kenapa film dengan narasi yang banal, bahkan brutal disukai penonton. Penonton seperti terpuaskan, karena mimpi-mimpi mereka merasa terobati. Mimpi-mimpi ketakberdayaan, mimpi-mimpi yang - mungkin - sakit. 

Bagi publik Amerika sendiri kehadiran film Rambo - terutama Rambo II - adalah seperti menemukan paracetamol untuk mengobati nyeri mimpi-mimpi mereka, karena kekalahan Amerika dalam perang di Vietnam. Ini memalukan!

Bagaimana negara super power dipermalukan pasukan bercaping dengan peralatan senjata sederhana, dengan jebakan-jebakan tradisional, seperti jebakan lubang-lubang yang berisi bambu-bambu runcing, membuat rontok nyali pasukan Amerika.

Bahkan Amerika sampai dikecam dunia, karena menggelontorkan bom kimia, membuat hutan-hutan di Vietnam dan penduduk sipilnya mengelupas. 

Dan Amerika tetap Amerika, negara yang selalu tak pernah salah, tak pernah kalah. Paling tidak dalam dunia fiksi. Film Rambo, salah satunya. Bahkan saat Film Rambo II rilis, Ronald Reagan, Presiden Amerika saat itu, memuji sebagai Film Amerika sesungguhnya. Dan Sylvester Stallone menjadi ikon baru Pahlawan Amerika. 

Penonton tak peduli, walau Film Rambo  sering dihadiahi sebagai "film terburuk" ( kecuali Rambo I, First Blood ). Dan apa pentingnya pula penonton harus memperhatikan latar pertempuran di Vietnam, Gurun Afganistan, Hutan di Myanmar, atau yang terbaru, Rambo V, menggebuk Kartel Mexico. 

Penonton hanya melihat Rambo sebagai mesin pembunuh, dan terpuaskan bagaimana Rambo secara brutal menghabisi musuh-musuhnya. Mempecundangi polisi yang nge-sok ( First Blood ), tertawa melihat tentara Soviet terbirit-birit dikejar panah bom ( Rambo II ), menyeruak dari sungai berlumpur seraya mengirimkan peluru bazoka kepada musuh yang menawan mantan komandannya.

Memang Rambo itu Tuhan? "Tuhan maha pengampun, Rambo tidak,"  ujar mantan komandannya di Rambo III. Kemudian menyelamatkan para misionaris di hutan Myanmar ( Rambo IV ). 

Mungkin ada benarnya tentang narasi-narasi yang sering diungkapkan dalam novel-novel detektif karya Agatha Christie, bahwa setiap orang punya potensi menjadi pembunuh. Tapi kemudian naluri itu teredam dengan pagar-pagar sosial, budaya, termasuk agama di dalamnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline