Bu Halimah melihat Dina, anak gadisnya masih menjuntai di tepi ranjang. Ia merasakan seperti ada yang dipikirkan oleh anak gadisnya. "Cepat, Rin sudah nunggu di depan. Jadi 'kan kamu daftar di Kebidanan?"
Dina menatap tajam emaknya, kemudian mengangguk pelan.
"Cepat!" kejar emaknya lagi. "Sekolah Kebidanannya 'kan jauh, nanti kamu kesorean," lanjut emaknya.
"Ya," Dina membereskan berkas-berkas yang dibutuhkan, dan memasukkan ke dalam tasnya. Kemudian ia menyalami dan mencium tangan emaknya. Dina hanya mengangguk kecil saat emaknya menanyakan apakah uang untuk ongkos perjalanannya cukup. Karena, memang, Sekolah Kebidanan itu letaknya di ibukota provinsi.
"Hati-hati...!" suara Bu Halimah mewanti-wanti anaknya.
"Ya, Mak."
***
Setelah tak tampak lagi bayangan anaknya di kejauhan, Bu Halimah duduk termenung sendirian. Sulit ia menafsirkan perasaannya saat ini. Senang, gelisah, takut, atau apa? Pikirannya seperti terlontar jauh, sangat jauh...!
Di ujung lamunannya ia seperti melihat bayangan anak gadisnya terlonjak gembira saat ia diterima di Sekolah Kebidanan itu.
Bu Halimah tersenyum sendiri. Ya, ia yakin anaknya akan diterima. Sejak SD Dina selalu juara satu. Tapi kemudian ia gamang. Biaya, ya biayanya dari mana?