Apa prasyarat yang wajib dimiliki oleh pengendara kendaraan atau pengguna jalan umum? Jawabnya adalah “kepekaan”. Kepekaan menjadi prasyarat, mulai dari ketika mau belajar nyetir (menyetir butuh kepekaan mengharmonisasi mesin dan kemudi sehingga bisa dijalankan dengan nyaman), hingga ketika sudah berada di jalan.
Ketidakpekaan menyebabkan disharmoni, baik pada dirinya, kendaraannya, maupun pengguna jalan lainnya. Dan di jalanan kita, ternyata ketidakpekaan terhadap kepentingan pengguna jalan lainnya ini masih sangat jamak. Mungkin pelaku tidak merasa dirinya tidak peka telah menyebabkan disharmoni. Namun justru “ketidakmerasaan” inilah yang justru membuktikan bahwa ia memang tidak peka.
Kita (atau kalau tidak kita, saya deh) sering menemui “ketidakpekaan” dalam banyak wujud di jalan raya – dan mungkin jangan-jangan, saya termasuk oknumnya. Apa saja bentuk ketidakpekaan itu? Ini, paling tidak.
Modifikasi kendaraan
Ada modifikasi yang memang dilakukan dengan modal, tujuannya menambahkan aksesori dan fungsi-fungsi tertentu sehingga performa mesin maupun penampilan kendaraan menjadi meningkat. Selain meningkatkan performa penampilan, performa keamanan dan kenyamanan pun biasanya juga diperhatikan. sehingga modifikasi jenis ini menurut saya adalah modifikasi yang keren.
Modifikasi jenis kedua adalah yang sama sekali tidak keren. Atau keren menurut pemilik/pelakunya, tetapi tidak untuk orang lain.
Pasti pernah menyumpahi pengendara motor dengan suara mirip kaleng dipukul-pukul kan? Inilah salah satu modifikasi yang menyebalkan orang lain. Iya kalau suara kendaraannya didengarkan sendiri, ini dibagi-bagikan pada orang lain di sekitarnya yang padahal tidak minta untuk dibagi. Untuk pengendara seperti ini, saya sering mendoakan agar Tuhan YME segera memanggil mereka ke alam yang lebih tenang.
Atau modifikasi (sebenarnya sih bukan modifikasi, tetapi memreteli anggota badan kendaraan) dengan mencopot spion motor, atau menggantinya dengan aksesori mungil yang seakan-akan itu mirip spion tapi tidak bisa dipakai untuk melihat apapun di belakang pengemudi ketika sedang melaju. Saya selalu heran dengan pengendara motor yang tidak memanfaatkan spion yang nyaman dan aman, lalu memilih menolah-noleh ke belakang ketika hendak berbelok. Repot buat dirinya sendiri, dan bisa mencelakai orang lain.
Atau mengganti warna lampu belakang yang merah dengan kaca bening. Dikiranya keren, tetapi sering kali membuat silau pengendara di belakangnya ketika malam hari.
Kadang-kadang standar keren memang aneh dan berbeda satu sama lain. Tetapi kalau mau keren, kerenlah yang sedikit menggunakan hasil pendidikan keluarga maupun sekolah. Sehingga tidak terlihat bodoh karena tidak memperhitungkan dampak dari penampilan keren itu.
[caption id="attachment_166308" align="alignnone" width="600" caption="Silahkan berdoa untuk pemilik/pengendara motor ini. Doanya bebas. "][/caption]
Ngebut
Saya sering membatin, apa alasan orang mengebut? Lalu mengingat-ingat, kapan terakhir kali mengebut? Tidak ingat lagi, yang jelas sejak punya anak istri, mengendarai apapun saya tidak pernah ngebut lagi dan lebih sadar lantas. Saya ingin saya selamat, dan anak istri selamat. Ya, kalau mengedarai dengan kecepatan agak tinggi (70 – 80 km/jam – ini sudah saya anggap tinggi) bisa dihitung sangat jarang, biasanya kalau janjian dan jamnya sudah mepet.
Kalau saya melihat mobil atau motor yang sleat-sleot dengan kecepatan tinggi di jalan, saya pun sering berpikiran baik bahwa mungkin memang ada keperluan mendesak. Mungkin kebelet ke WC, mungkin ditunggu sama bosnya, mungkin ada berita penting sehingga dia harus memacu kendaraannya.
Tapi alasannya apapun, ngebut harus terukur dan tidak ngawur. Ngebut itu jurus pamungkas, bukan dikit-dikit ngebut, dikit-dikit ngebut. Keculai kita sedang berada di sirkuit.
[caption id="attachment_166309" align="alignnone" width="600" caption="Kalau ini dipacu melewati jalan sekitar Tugu Tani di pagi hari, kira-kira apa yang mungkin terjadi?"]
[/caption] Komunikasi Tanda
Jalanan adalah tempat orang banyak. Dan sekumpulan orang banyak perlu berkomunikasi untuk bertukar pesan. Komunikasi di jalan bukan dengan teriakan atau tangan pengemudi yang melambai-lambai ketika hendak belok kiri kanan, tetapi dengan tanda-tanda.
Lampu sein, lampu utama, dim, dan sesekali klakson, inilah tanda-tanda itu. Keberfungsian menjadi penting. Namun sampai sekarang, masih saja ada orang belok tanpa sein. Sliut ... dan mewajibkan pengendara di sekelilingnya untuk waspada tingkat tinggi.
Mungkin lupa. Tapi kok terus-terusan.
Tempat Sampah
Ini terakhir, tapi penting. Ternyata selain kali, masih banyak yang menjadikan jalan raya menjadi tempat sampah besar yang penggunanya tidak perlu membersikannya sendiri (karena merasa sampah itu akan hilang sendiri atau dibersihkan petugas).
Saya pernah hampir saja memungut kulit pisang dan mengetuk jendela mobil di sebelah ketika di lampu merah untuk mengembalikan kulit pisang yang dibuang oleh penumpangnya.
Hati-hati dengan membuang sampah. Karena salah-salah, bisa menunjukkan tingkat kejorokan kepribadian kita yang paling dalam.
Ya “kejorokan kepribadian“, bukan kejorokan penampilan. Karena bisa saja yang membuang sampah itu kita-kita yang tampan/cantik, dari keluarga kelas atas yang rumahnya mengkilap terawat, bajunya selalu bersih dan berlevel, gaya bicara dan gesture-nya berkelas, lingkungan rumahnya terawat bersih (oleh pembantu), tetapi tidak bisa menyembunyikan kepribadian dasarnya. Hanya dengan secuil sampah kecil (apalagi besar) yang melayang lewat celah jendela mobil, potensi kejorokan kepribadiannya bisa tersingkap.
***
Jadi, sebenarnya ini tentang apa sih ini? Sstt .. dikasih tau ya. Mulanya dari tragedi “Xenia“ (sorry menyebut merek) yang membuat sesak: Orang sedang kurang waras akibat psikotropika memacu mobilnya hingga 100 km/jam di jalan non-tol di tengah kota dan di jam 11 siang yang ramai. Lalu tersilap dan menyasar pejalan di trotoar. Sembilan meninggal, termasuk balita seusia anak saya. Siapapun yang punya anak kecil, pasti sesak sekali melihat pemandangan itu. Dan ini adalah catatan yang bermula dari situ, dari ketidakpekaan, dari ketidak-eling-an.
Eling, jalan adalah milik bersama. Ada kepentingan orang lain selain kepentingan kita yang mahapenting sekalipun. Ada nyawa lain selain nyawa yang kita sayangi. Eling juga, untuk selalu meliputi perjalanan dengan doa, karena siapa tau kita sudah hati-hati, tapi terancam oleh perilaku tidak eling dari pengendara yang lain.
Dan kita perlu eling, agar jadi safety driving. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H