Lihat ke Halaman Asli

Masa Depan dalam Segelas Kopi (4): Hilang

Diperbarui: 3 Oktober 2016   15:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kereta merapat di gambir pukul tujuh lewat lima. Rutinitas tidak lagi membuatku perlu menghitung berapa jumlah dua ruas anak tangga dari peron hingga lobi utama, mungkin tiga puluh atau empat puluh. Lambaian ojek dan klakson motor bersahutan, menawarkan tumpangan, seperti prenjak menyambut mentari, atau induk ayam berkotek memanggil reriungannya.., atau seperti suit-kerling cowok-cewek yang menggodamu, menyebalkan tetapi senang juga hati dibuatnya..

Selintas setelahnya, selasar panjang mengantarku pada tiang ketiga penyangga rel kereta, tempat biasa emak berjongkok mengaduk kopi. Namun tak terlihat tanda keberadaannya, digantikan bak plastik beroda, warna hijau setinggi dada, dengan pengki, dan sapu lidi di sampingnya. Hari ini emak tak ada, digantikan bak sampah beroda berdiri ringan di sana.

Hari ini emak tak ada.

Entah emak dimana. Sengaja bolos berdagang tentu bukan pilihan rasional bagi orang yang hidupnya bergantung pada jumlah sachet kopi yang diseduhnya. Meluangkan waktu untuk liburan? Jangan bercanda. Berdagang kopi eceran tak perlu liburan muluk, cukup jikamana siang hari uangmu bisa untuk makan malam, kau boleh sedikit melepas beban, satu atau dua jam saja.

Hari ini emak tak ada.

Mungkin emak takut demo? Mungkin saja demikian mengingat beberapa hari belakangan di depan Gambir, yang berhadapan dengan menara pertamina medan merdeka timur, marak demonstrasi, hujan batu, petasan, gas air mata, dan teriakan-teriakan serta derap sandal, sepatu, lars, berlarian, yang tentu bukan pertunjukan yang kauinginkan menemanimu menjajakan kopi.

Tapi kukira emak tidak takut. Bukankah senyatanya mereka-mereka yang berhadapan dalam aksi, selalu memiliki waktu jeda untuk tanpa sengaja duduk bersama, menyeruput kopi yang sama, bertukar sapa, lalu membayar dengan harga yang sama, pada emak dan para sejawatnya. Sinergi yang menguntungkan.

Kecuali, kadang-kadang, memang kericuhan itu membuat membuat gelas-gelas berserakan dan kopi tumpah tanpa terbayar. Komposisi yang meresahkan.

Hari ini emak tak ada.

Kuyakin bukan karena takut demo. Emak tak pernah takut, setidaknya tak pernah menganggap ketakutannya terlalu berharga untuk dirawat. Jangankan pada demonstran, polisi, hujan batu, tentara, gas air mata, maupun peluru; pada kehidupan pun, yang terlalu berat bagi sebagian orang, emak tak pernah menyimpan jeri. Kata mereka, ketika kau berani menjalani kehidupan miskin papa, maka kematian adalah hadiah dari Tuhan. Karunia yang terindah.

Hari ini emak tak ada.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline