Lihat ke Halaman Asli

Masa Depan dan Segelas Kopi (3): Etos

Diperbarui: 27 September 2016   14:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Masih tentang kopi, dan cerita-cerita yang dia bisikkan kepada kita.

--

Dalam modernitas yang tergesa dan lintang pukang, filantropi menjadi banal, bahkan mengandung cemooh. Etos pun dipertanyakan, bahkan ditertawakan. Lalu oportunis yang pragmatis?, fuiihh.. kukira kita memang sedang mengarah  ke sana.

---

Gambir, 07:12 WIB.

Aku terbiasa naik gerbong 3, karena saat berhenti di Gambir, dia berada persis di sebelah tangga peron.

Lalu ketergegasan yang sama segera menyambut, menyeretku berlari-lari kecil di setiap undaknya, mengimbangi langkah-langkah cepat para kolega.

Ketergesaan yang ringan, namun monoton. Kami semua sama, bukan zombie memang, tapi lebih mirip bionic dengan program semi senada dan konstan: berangkat-kerja-pulang. Yang membedakan kami hari ini dengan kemarin tak substansial, hanya merek baju saja. Savero pink berganti zara marun; qirani bergaris berganti nevada berenda; levi’s dongker berganti lea tosca; arrow coklat berganti watchout abu. Kaos joger berganti C59. Alisan dan hidayah juga ada, selasih atau batik janoko[1], berganti-ganti warna.

Atau sepertiku, alisan putih setiap hari dengan perbedaan pada letak noda coklatnya saja, kadang di lengan, kadang di punggung.

---

Ketergegasan yang sama, jumlah undakan tangga yang sama, pintu keluar samping loket yang sama, gerai dunkin donuts yang sama, serta lambaian para ojek yang juga sama di sepanjang selasar Gambir.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline