Masih tentang kopi, dan cerita-cerita yang dia bisikkan kepada kita.
--
Dalam modernitas yang tergesa dan lintang pukang, filantropi menjadi banal, bahkan mengandung cemooh. Etos pun dipertanyakan, bahkan ditertawakan. Lalu oportunis yang pragmatis?, fuiihh.. kukira kita memang sedang mengarah ke sana.
---
Gambir, 07:12 WIB.
Aku terbiasa naik gerbong 3, karena saat berhenti di Gambir, dia berada persis di sebelah tangga peron.
Lalu ketergegasan yang sama segera menyambut, menyeretku berlari-lari kecil di setiap undaknya, mengimbangi langkah-langkah cepat para kolega.
Ketergesaan yang ringan, namun monoton. Kami semua sama, bukan zombie memang, tapi lebih mirip bionic dengan program semi senada dan konstan: berangkat-kerja-pulang. Yang membedakan kami hari ini dengan kemarin tak substansial, hanya merek baju saja. Savero pink berganti zara marun; qirani bergaris berganti nevada berenda; levi’s dongker berganti lea tosca; arrow coklat berganti watchout abu. Kaos joger berganti C59. Alisan dan hidayah juga ada, selasih atau batik janoko[1], berganti-ganti warna.
Atau sepertiku, alisan putih setiap hari dengan perbedaan pada letak noda coklatnya saja, kadang di lengan, kadang di punggung.
---
Ketergegasan yang sama, jumlah undakan tangga yang sama, pintu keluar samping loket yang sama, gerai dunkin donuts yang sama, serta lambaian para ojek yang juga sama di sepanjang selasar Gambir.