Seharusnya itu tugas gampang dan cepat. Aku hanya perlu buah. Tidak perlu yang mahal. Beberapa biji pisang, beberapa biji apel. Mungkin anggur kalau ada. Sederhana, gampang dan cepat .
Sampai aku melihat blueberry.
Gelembung-gelembung yang matang, berwarna ungu-biru berkilauan di hadapanku. Aku sedang dengan cekatan menata barang-barangku dengan kedua tangan ketika gelembung-gelembung itu menarik perhatianku. Aku mendekati pajangan dan membiarkan angin dingin dari kulkas yang terbuka di depanku. Paket-paket kecil yang rapi itu menunggu dengan penuh harap, ditumpuk dengan cekatan satu di atas yang lain. Aku mengulurkan tangan untuk mengambil salah satu kotak dari tumpukan itu.
Satu terlalu banyak.
Daripada membiarkan pilihanku jatuh ke lantai, aku merasakan kotak-kotak blueberry meluncur di antara jari-jariku. Dalam gerakan yang tampak lambat, blueberry-blueberry itu jatuh ke lantai dan dengan cepat menyebar ke seluruh sudut area di sekitarnya.
Menuju kebebasan.
Aku menahan napas sampai yang terakhir berhenti berputar menjauh dariku. Aku melihat ke bawah ke tumpukan kecil yang masih terkumpul di ujung sepatuku.
Pikiranku meluncur turun ke sebuah kenangan dari masa kecil yang nyaris terlupakan.
Berjalan ke sekolah, tanganku digenggam erat oleh ibuku, buah beri merah terang dari pohon yang tak dikenal berserakan di jalan di depan kami. Ibuku berhenti dan melihat ke bawah ke arah buah beri itu. Aku menatapnya. Perlahan, hati-hati, dia mengulurkan sepatunya, menurunkannya dengan sengaja, meremukkan satu buah beri, lalu yang kedua. Daging dan sari buahnya keluar dari bawah kakinya yang penuh dengan aroma kemenangan.
Dia menatapku dan tersenyum. Tanpa sepatah kata pun, kami mulai menghentakkan kaki dan menginjak serta meremukkan buah beri yang tersisa. Bersama-sama, bergandengan tangan.