Nyonya Indang bertubuh mungil, kaku, dengan garis mulut yang tegas. Burung pemangsa yang tak berbulu.
Gaunnya berwarna biru tua dan panjangnya sampai di tengah lutut. Betisnya terbungkus kaus kaki ortopedi. Rambutnya berwarna kelabu abu karena hari mendung. Asisten perawatnya, yang berjalan ke ruang sidang bersamanya, bertubuh besar. Lingkar pinggang dan tinggi badan. Warnanya seperti kastanye. Ia mengenakan celana joging dan baju perawat.
Ini adalah sidang Prejudicieel Geschil untuk menentukan apakah tuntutan pidana harus diajukan terhadapku. Aku adalah tetangga sebelah Indang Tindaon di sebuah kompleks rusunawa di bilangan Jakarta Timur. Aku dituduh mengganggu ketenangan dan melecehkan Nyonya Indang. Dia sudah sepuluh kali memanggil polisi untuk menangkapku. Dia menuduhku menggedor dinding, memukul panci, dan meneriakinya dengan kata-kata kasar melalui dinding yang memisahkan unit kami.
Rupanya, aku melakukan ini 24 jam sehari.
Aku seorang penulis dan sering bekerja dari rumah. Aku tidak bisa mendapatkan surat dari editor atau rekstur atau siapa pun yang menyatakan bahwa aku tidak berada di rumah selama berjam-jam. Aku menghabiskan sebagian besar hari-hariku dengan duduk di depan komputer untuk menulis.
Hakim menanggapi semuanya dengan sangat serius.
Hakim Ronggur.
Aku samar-samar mempertanyakan apakah dia memberi lebih banyak kredibilitas kepada wanita tua gila itu karena adaa hubungan daerah asal.
"Apakah Anda punya bukti suara-suara itu?" tanya hakim.
"Rekaman, Pak Hakim."