Lihat ke Halaman Asli

Ikhwanul Halim

TERVERIFIKASI

Penyair Majenun

Jalan Tak Berujung

Diperbarui: 21 September 2024   22:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Lebah-lebah mengerumuni bunga akasia kuning cerah di sepanjang jalan setapak sempit yang retak. Di sebelah kiri, tebing-tebing yang terpotong gelombang mulai runtuh.

Pada sore hari yang indah, jalan pintas ke sungai besar yang indah ini adalah ide cemerlang untukmu saat remaja. Bunga akasia yang terbakar matahari dan aroma gulai patin masak tempoyak dibawa angin dari kejauhan menghadirkan aroma tajam yang aneh.

Sekarang sudah jelas.

Ini bukan lagi jalan pintas karena semak belukar yang lebat dan kasar menjulang setinggi pinggul ke cakrawala, dan celah yang dalam dan lebar mengiris ke daratan dari garis bantar sungai. Di bawah, sungai mengalir menghantam batu-batu besar dan kerikil bersudut di sepanjang tepian. Rumput ilalang yang babak belur menempel di bebatuan.

Sebagian besar penduduk berkumpul di kota.

Biasanya, ini hal yang baik, yang sekarang kamu kurang yakin.

Siapa yang akan menyadari bahwa kamu hilang? Mencari kamu?

Tidak ada yang tahu kamu di sini. Tidak ada peta. Sedikit persediaan, sedikit air. Mendaki terlalu jauh untuk kembali. Peralatan yang salah untuk menginap. Suhu udara seperti batu terpapar matahari.

Dia membeku di sampingmu, menatap tebing sungai. Tingginya seratus delapan puluh lima sentimeter, bugar, muda. Dia bisa melakukan apa saja.

"Aku tidak bisa," kata ayahmu. Giginya terkatup. Seorang pilot. Takut ketinggian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline