Yang dia tahu dia menginginkan lebih. Lebih dari sekadar membersihkan meja dan menatap kosong mata-mata. Lebih dari sekadar derit kaki menapak lantai sepanjang hari dan gemetar sepanjang malam dari kemarahan ayahnya yang mabuk.
Jadi, pertama kali pria asing itu masuk ke rumah makan dengan langkah beratnya yang memakai sepatu bot, dia dengan lengan baju yang digulung ke bawah untuk menyembunyikan bekas jari-jari ayahnya, menyentuhkan ujung jarinya ke bibir sambil tersenyum, dan mengisi ulang kopinya tujuh kali.
Dua kali lagi pria asing itu duduk di kursinya, mengusap tangannya dengan jari-jari yang kasar dan kapalan, dan dia merasakan sesuatu yang telah kendur kini mengencang di dalam. Jadi, tanpa mempedulikan silsilah atau sopan santun, tanpa mempedulikan cincin yang m,elilit di antara jari tengah tangan kirinya dan kelingkingnya, hari itu dia membiarkan pria asing itu mengantarnya pulang.
Dan kali berikutnya ayahnya mencengkeram lengannya dengan erat, memanggilnya dengan sebutan yang biasa diberikan untuk ternak, dia melepaskan diri dan membiarkan pintu kasa terbanting.
Dengan si pria asing menunggu di serambi depan, dia menyampirkan tasnya di satu bahu, melangkah ke arahnya, dan membiarkan si pria asing menggandeng tangannya.
Kemudian, dengan pria asing di belakang kemudi, kakinya yang tanpa alas menjuntai keluar jendela, mereka berputar balik dengan kerikil tepat di jalan masuk rumah ayahnya. Karena dia tahu, seperti matahari yang akan terbit, bahwa semua kerja lemburnya dan lemari yang kosong, semua ototnya yang sakit, dan kenyamanan yang dijanjikannya, tidak akan lebih besar daripada apa yang dapat dipegang oleh telapak tangan pria asing yang melengkung.
Cikarang, 7 September 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H