Malam itu hujan datang berbondong-bondong.
Kamu berdiri di jendela menyaksikan tetesan air bertumpuk satu sama lain, menuangkan cahaya. Hanya sekilas saja di matamu mereka menyerupai pergerakan massa yang terlihat dari kejauhan, bagai kerumunan pelayat.
Kamu tak dapat membayangkan lelaki yang akan mati, dua puluh kilometer jauhnya. Bagaimana dianya ragu-ragu, memegangi pagar di puncak tangga loteng rumah dan memperhatikan tanda-tanda neneknya di air di bawah yang sepertinya merayap naik.
Melangkah. Mengepak secara berlebihan menggapai, seolah-olah memiliki tiga kaki lima tangan. Kamu tidak dapat membayangkan dia sekarang seperti yang kamu lakukan keesokan sore.
Hingga ke lututnya, lalu ke lehernya, menelan satu teguk udara dan tenggelam saat kamu berhenti terduduk di lampu merah, mendengarkan suara penyiar dengan artikulasi kabur dan menontonnya.
Pepohonan melambai secara formal dan terlalu anggun. Kain-kain kotor kusut di dahan-dahan tempat air naik bersentuhan.
Cikarang, 5 Juli 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H