Lihat ke Halaman Asli

Ikhwanul Halim

TERVERIFIKASI

Penyair Majenun

Kacang Hijau dalam Daftar Belanja

Diperbarui: 24 Januari 2024   21:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Aku menemukannya di belakang microwave, di antara tumpukan amplop yang menguning. Benda itu menempel di dasar tumpukan dan aku akan melewatkannya ketika aku memungutnya seandainya benda itu tidak melompat bebas pada detik terakhir, berputar dengan liar hingga mendarat di kakiku yang berkasut. Kertas persegi panjang kecil berwarna kuning pupus, dikerutkan di kedua arah di tengahnya seolah-olah kertas itu pernah dipotong menjadi empat bagian dan dimasukkan ke dalam saku.

Aku tidak yakin berapa lama aku berdiri di dapur sambil memegangnya. Yang terdengar hanyalah gemerisik suara tirai yang bergerak di jendela dan suaraku yang basah dan gemetar sebelum Bibi Jannah menemukanku dan mengarahkanku ke sofa.

Saat itu bulan April.

Ayah meninggal pada bulan Januari.

Sebenarnya, aku belum merasakannya--tidak meraskan apapun---sepanjang musim hujan itu. Tidak sampai saat itu. Saat pertama kali aku menerima telepon dari Ibu, aku ingat kata-katanya terkesan banal dan jauh. Seolah-olah aku membacanya lagi, kalimat abu-abu di kertas koran.

Lima puluh sembilan. Pria. Mati. Serangan jantung di rumahnya. Sendiri.

"Maaf," kataku ketika Ibu selesai berbicara.

"Saya minta maaf." Aku mengatakannya lagi di pemakaman. Tidak ada lagi yang perlu dikatakan.

Aku tidak mengenal ayahku.

Ketika dia meninggal, aku tidak bertemu dengannya selama lima belas tahun, dan tidak berbicara dengannya selama tujuh tahun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline