Lihat ke Halaman Asli

Ikhwanul Halim

TERVERIFIKASI

Penyair Majenun

Dalam Senang Maupun Tidak Senang

Diperbarui: 14 Januari 2024   10:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

I.

Kita menatap alam semesta dan percaya bahwa alam semesta sedang melihat ke belakang, saat bola lampu besar yang berkumpul terangkat dan meledak. Pancaran cahaya untuk dilihat dan dilihat yang merupakan elemen penting dari bentuk kehidupan kita.

Tidak ada lagi budak yang mengangkat diri mereka ke atas menara dan memperhatikan tanda-tanda. Tidak ada ibu-ibu berpakaian bagus yang menumbuk padi dan wajan di jalan desa dan menggedor pintu lemari besi untuk mendapatkan uang kembali karena tidak ada yang dimakan.

Siapa pun yang tidak memproses nitrogren sudah mati. Kita mengalami defisiensi dan anemia seperti tunas yang tumbuh seperti yang diajarkan di kelas sekolah tata bahasa yang jauh. Yang mana yang tumbuh lurus di bawah lampu yang mana yang mengejar matahari.

Pusing tipis-tipis terhuyung-huyung di level kami. Lingkaran di sekeliling mata kita untuk memperjelas kulit kita yang bersisik metalik. Menyibak poni kita.

Rok reflektif licin berritsleting. Menunggu semesta kembali terkoneksi.

II.

Mengapa kita pergi ke hutan? Benar. Untuk membangun kubah observasi bintang. Meskipun ada catatan sastra yang menentang. Seperti punggung binatang bungkuk atau sepasang tangan pengkor, menebar pasir taman bermain di saat-saat yang jauh dari kebosanan ... ingat? kolam pekat tempat kita berendam berbentuk katak dan bunga? kemudahan yang kita gunakan untuk melahap makanan kita. Kata sifat pertama! Kita mengetahuinya dengan sangat baik sehingga bisa membuangnya ke dalam plastik sampah. meledak jutaan kali.

Seperti ruang hampa tanpa pegangan dengan seratus mata yang melotot mendesis keluar dan berputar. Lalu kita menghancurkan manekin dengan palu dan membagi matanya. Kita membuat semprotan merica luar biasa dari tabung pena dan kipas bulu merak. Berdiri tegak di belakang observatorium dan pada malam hari akan membuka dan menutup melintasi langit berhiaskan manik-manik, memperlihatkan ... bukan, menampakkan. Seolah langit adalah remaja gatal yang mengedipkan mata.

Kita seharusnya membukanya pada siang hari. Jika AC menyala di puncak kubah trenggiling, kita tidak menyadarinya. Di dalam amplop kecil kode merah. Di bulu terbang yang membusuk di sarang peri gunung. Dalam kitab tentang 'beelzebub' yang kita tak menyadarinya. Kita tidur nyenyak di ranjang kaleng yang sudah disikat, organ-organ tubuh menempel di meja periksa. Kita sebenarnya tidak punya mimpi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline