Lihat ke Halaman Asli

Ikhwanul Halim

TERVERIFIKASI

Penyair Majenun

Gersang

Diperbarui: 31 Agustus 2023   07:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Aku ke Taman Kota untuk menjernihkan pikiranku. Pohon-pohon meranggas, rerumputan berwarna kekuningan, air sungai cetek kecokelatan.

Di tepi kolam yang kini hanya berupa endapan lumpur, bahkan angsa yang biasa ramai telah mengungsi, di sanalah bangkuku. Seseorang telah merebutnya. Seorang lelaki tua, jaket tebal dengan kerah terangkat menutupi leher.

Demi Tuhan, ini pertengahan musim kemarau!

Aku duduk, sejauh mungkin darinya karena dia mungkin sedang tidak enak badan.

Dia memutar kepalanya perlahan, menatapku dengan mata berkaca-kaca sedih, dan mengangguk bagai dahan lapuk tertekuk ditiup angin.

Dia mengerti, menurutku.

Dan tanpa kusadari aku sedang berbicara, mengungkapkannya. Dedaunan terhanyut dari ujung selokan dan air hujan yang terpendam, sampah hidupku, mengalir tanpa hambatan. Di taman yang gersang ini.

"Perempuan itu berbicara dengan sangat lembut dan baik. Bagaimana mungkin aku berteriak dan membentaknya? Dia bosku. Jika aku memukulnya, aku akan kehilangan pekerjaan. Aku mencoba untuk menjadi manusia beradab. Ya, itu hal yang biasa saja, bisa saja terjadi pada siapa saja, aku tahu. Ya, aku tahu. Tapi kenapa aku? Aku bahkan tidak mengira mereka akan bertemu, apalagi... Dan kemudian dia membuatku merasa sia-sia. Katanya itu bukan keputusannya. Masa sulit, rasionalisasi tenaga kerja, bla bla bla. Tentu saja itu dia. Aku adalah rasa bersalah dalam jiwanya yang menatap langsung mukanya."

Orang tua itu, psikolog konsultanku, mengangguk. Dia mengerti. Dia telah melihat semuanya; Lumpur kehidupan telah menempel padanya, pasti dia sudah mengalaminya. Tapi dia selamat.

'Tetapi perusahaan mana yang mau menerima karyawan seumurku?' Aku melanjutkan. 'Tak peduli bahwa aku cukup bugar, cerdas, benar-benar bisa melakukan hal-hal yang masuk akal dengan baik. Demi Tuhan, jauh lebih baik dari daripada bocah-bocah yang dibuang oleh universitas-universitas saat ini, dengan gaun dan kerudung sutra. Dan papa mereka yang mengambil foto, minum kopi di Starbuck. Aku bisa matematika, setidaknya tambah kurang kali bagi. Bahkan belajar menggunakan komputer, kalau memang diberikan kesempatan."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline