Penghujung hari di klinik dokter spesialis kulit.
Hanya ada aku dan pasien tertutup masker lainnya di ruang tunggu prosedur minor menjaga jarak sosial. Ketika resepsionis menyebut nama seorang perempuan untuk menuntaskan berkasnya, dia menyebutkan nama yang bahkan lebih dari tujuh puluh tahun setelahnya tidak pernah gagal membuatku menoleh.
"Tania, bawa ini kembali dengan kartu asuransi dan SIM Anda."
Aku hanya pernah menulis satu puisi selama sembilan puluh lima tahun hidupku yang menjadi tugas di HBS kota kami. Kelas satu hingga kelas tiga bertemu di kelas yang sama dan penekanannya adalah matematika dan tata bahasa. Dan tidak seorang pun, termasuk gurunya, tahu bahwa sebuah puisi tidak harus berima.
Aku tidak dibolehkan untuk membacanya di depan kelas. Bukan karena itu tentang seorang gadis muda dengan rambut hitam berkilau dan mata cokelat yang duduk dua baris di depan. Tetapi karena, kata guru itu, dia tidak akan pernah mengizinkan 'puisi semacam itu'. Sangat sopan menurut standar sekarang. Dan satu-satunya hal yang aku tahu tentang payudara adalah susu untuk adik-adik, sapi perah di Lembang ... dan Tania.
Terakhir kali melihatnya, aku mendapat karcis kereta api menuju ke kamp pelatihan di Pangkalan Angkatan Laut Surabaya keesokan paginya. Dia meminjam truk pengangkut sapi pamannya dan mengisi tempat tidur dengan selimut yang dibuat neneknya.
Cucu-cucuku, bahkan anak-anakku sendiri yang kuliah di tahun enam puluhan akan tertawa terbahak-bahak jika mereka tahu tentang aku yang berkeringat dan setengah telanjang berbaring di samping Tania di bawah sinar bulan September menjelaskan mengapa kami perlu menahan diri.
"Sialan, Pan! Entah ulama atau pastur sialan mana yang telah mencuci otakmu." Dia berguling ke arahku dan menutupi bibirku dengan ciuman penuh gairah. "Selain itu, apa bedanya?"
Harus segera berhenti atau tidak sama sekali. Aku memberi tahu Tania bahwa aku akan menikahinya begitu aku sampai di rumah. Dia melompat terlempar keluar dari bak truk dengan gusar dan aku mengikutinya. Hal berikutnya yang aku tahu, pintu truk dibanting dan melesat melewatiku. Tania tidak pernah melihat ke belakang.
Aku bertanya-tanya apakah dia bahkan mengenaliku sekarang, kepala botakku dan punggungku tidak selurus 1948. Tapi aku tahu itu dia. Rambut abu-abu dipotong pendek. Dia mengenakan kacamata gaya dan dengan tepat menggambar alisnya seperti biasa. Tubuhnya langsing. Tidak mengherankan, dia bertekad untuk tidak membungkuk.