Sesuai dengan percakapan via audiocall di hari Buruh sedunia, Senin, kemarin siang aku berkunjung ke rumah Mas Taufan S. Chandranegara di bilangan Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten.
"Assalamu'alaikum," suluk salam kuucapkan ke dalam rumah yang pintunya terbuka.
"Wa'alaikum salam," jawaban yang disusul sosok pemilik suara muncul dari balik tembok kamar sebelah.
Ini pertemuan pertamaku dengan Mas Tasch (panggilan beliau), setelah sebelumnya berkali-kali gagal mewujudkan tatap muka langsung dengan salah satu pentolan Teater Koma dan pendiri Dur Teater, seniman lukis dan visual yang sudah memamerkan karya seni diberbagai art event, (mengaku) kernet angkot di Kompasiana....
"Maaf ... rumah masih berantakan. Maklum, sendirian aja. Ada anak angkat yang baru pulang menjelajah negeri. Jadi ada yang bantuin beres-beres. Anak-anak nggak di sini."
Aku tahu Mas Tasch masih dalam suasana berduka karena istri meninggal. Tak lama kemudian, Nano Riantiarno, pendiri Teater Koma, guru dan pembimbing beliau juga meninggal karena kanker paru-paru.
Meski rambut putih merata, sulit menebak usia beliau yang sebenarnya. Mas Tasch terlihat muda dan energik. Berbeda dengan gambaranku dari mengikuti kiprah Mas Tasch di dunia maya yang membayangkan bertubuh kurus seperti umumnya seniman, aslinya padat berbobot.
"Ini bukunya, Mas," kataku, menyodorkan dua buku baru terbitan Pimedia karya beliau.
Sebetulnya sudah berapa kali sebelumnya aku berniat untuk menyambangi rumah di Pondok Aren tersebut, tetapi malu karena bukunya belum jadi.
Dua buku berupa antologi "Prosa kopi esai dari pinggiran" dan novel silat alegori "Cogan alam purnama" kumpulan tulisan Mas Tasch di kompasiana dan indonesiana. Sudah aku tekadkan sejak dari awal aku mendirikan Pimedia, bahwa kami harus berhasil mendapatkan hak untuk menerbitkan karya tulis beliau, dan karena usahaku tidak sia-sia, rasanya gimana... gitu. Senang pakai banget.