Api Salju seharusnya menjadi cerita yang klise. Dengan wajahnya yang cerah cemerlang dan caranya penuh hasrat cinta dan onak duri.
Ksatria Mawarnya Ksatria Mawar, dia menjelajahi dunia dengan tawa dan karisma yang dapat memukau barisan patung batu. Dia tidak membutuhkan pedang untuk bertempur. Dia bisa tersenyum menembus dinding tembok dan pintu gerbang dan lubang berduri dan berbicara dengan monster di sarang mereka, menenangkan lautan yang mengamuk badai, dan merendahkan pria yang paling jumawa.
Lambang warna Api Salju adalah merah-putih, optimis dan cemerlang baik dalam sehat maupun rehatnya. Tanpa baju zirah, pedang, dan hiasan panji-panji, dia menjadi wanita cantik di jalan-jalan kota mana pun. Anggun dalam tampilannya, dia membawa kehancuran bahkan hanya dengan melirik.
"Aku khawatir," kata Ksatria Merah-Putih suatu malam sambil minum bir pletok dan sepiring domba panggang. Dia berbagi kata-kata dan makanannya dengan seorang Hulubalang, yang menjadi pedagang dan kadang-kadang jurumudi berpangkat menengah. Seorang teman seperjuangan dari perang melawan Tentara Bulan.
Suatu ketika mereka pernah bertempur bersama beberapa ribu rekan, di antara reruntuhan zaman kuno yang ditumbuhi sulur merambat yang berjejer di lembah-lembah tinggi itu. Sihir kuno masih mengintai dalam bentuk kolam yang menatap dan hantu yang mengoceh.
Hulubalang telah pensiun, undur diri meninggalkan semua itu, tetapi mereka masih bertemu lagi dan lagi ketika dia melintasi Bandar Feniks, atau urusan dagangnya membawanya ke Gelegata Hulu.
Hulubalang menjilat lemak lengket dari jarinya. "Bagus," katanya sambil menyeringai, lalu menyesap bir pletok lagi.
Api Salju tertawa, tawa gembira yang membuat para pelancong berhenti di luar jendela penginapan. "Bagus? Kamu terlalu memikirkanku sehingga kamu ingin aku khawatir?"
"Tidak." Hulubalang mengiris domba panggang lagi, meliriknya dengan mata berbinar air terjun dari gunung. "Kalau kamu tidak pernah khawatir atau takut, kamu akan merana karena kurang perhatian."