Kamu tak ada sampai hari kami bermain kejar-kejaran di lapangan sekolah dan aku berlari dengan kecepatan penuh untuk menjauh darimu. Kakiku terperangkap akar pohon, tersandung, dan kamu menyentuhku. Kita terkapar bersama. Rerumputan kering di mulutku, tanah yang dipanggang matahari, dan kamu terengah-engah, berkeringat, berbau anak laki-laki, menjepitku.
Sesuatu di dalam diriku berkobar saat kamu berguling dariku dan mengulurkan tangan.
Kelak, lama kemudian, aku menghirupmu dengan ciumanmu. Sabun cukur murahan dan barang kimia yang kamu oleskan pada rambutmu, dan aku mencoba mengatakan pada diri sendiri bahwa kam sama saja dengan semua laki-laki lainnya. Awalnya, aku tidak percaya, sampai beberapa bulan kemudian aku menangkap aroma bunga yang aneh dan langsung teringat temanku Lida.
Aku berdandan dengan hati-hati. Aku ingin terlihat berkelas, untuk menunjukkan bahwa aku telah move on. Aku memaksa Bram membeli setelan jas yang lebih baik, memilihkannya dasi yang cocok.
Kami berpegangan tangan. Dia meremas jemariku setelah penghulu mengatakan 'sah' yang disambut gegap gempita pengunjung yang hadir sebagai saksi.
Di barisan tamu aku mencium pipi Lida, lalu bergerak untuk menjabat tanganmu. Kamu menarik tubuhku untuk pelukan kilat, dan meskipun sabun cukurmu menjadi lebih mahal, tak ada yang berubah darimu.
Setelah makan, aku permisi dengan alasan migrain. Aku tidak bisa mempercayai diriku sendiri.
Terkadang kamu bertanya mengapa aku tidak memakai parfum lagi. “Aku suka yang dulu kamu pakai, apa merknya?”
Aku masih memakainya, tapi tidak saat aku bersamamu. Kita tidak boleh ketahuan.
Sekarang, saat aku memikirkanmu, aku mencium bau bunga bakung. Ruang resepsi dipenuhi dengan bunga bakung. mereka ditumpuk di atas Anda. Manis, menjemukan, menenggelamkanmu, seperti potret yang telah photoshop di dudukan kaki tiga.