Gadis itu duduk di luar pasar, di atas tumpukan kardus botol air mineral. Dia merokok batang terakhir dari bungkusnya dan melihat para turis mengisi tangki kendaraan, membuang kantong makanan cepat saji mereka di tempat sampah di sebelah pompa bahan bakar.
Angin kencang mengguncang gubuk-gubuk pesanggrahan siang dan malam. Si cowok ingin menyentuhnya tetapi tampaknya si gadis lagi berkonsentrasi penuh dengan buku catatan dan pena di meja ruang makan.
Dia menyalakan dupa dan menaruh sepoci kopi.
Saat menulis ini, aku belum tahu siapa aku. Mengintip dari depan toko, aku melihat kehidupan lain muncul, dengan mesin kasir, etalase, dan keletihan yang berbeda. Kami berkendara ke danau, parkir di bawah pohon cemara. Hujan mulai turun.
Di bawah kasur ada lembar catatan dengan foto-foto lama. Dari jendela, terdengar lonceng yang berdenting tertiup angin.
Cowok itu kesepian, sangat jelas terlihat.
Dia berbaring di tempat tidur, telentang secara diagonal seolah-olah tidak ada orang di sekitar berkilo-kilometer jauhnya. Udara lembap melekat pada segalanya.
Berapa banyak menjadi terlalu banyak? dia bertanya-tanya.
Dia duduk di meja belakang kedai kopi, dengan koran kusut dan roti bohong yang setengah digerogoti.
Aku masih tahu mengapa aku menulis ini, sambil mencoba membayangkan.