Suara Zaki menggema di udara. "Apa itu tadi?"
Tiwi mengangkat bahu. "Mana kutahu. Biasanya kamu leboih tahu, Zak."
"Gue nggak yakin, tapi lebih baik kita menjauh aja." Zaki melingkarkan lengannya di pinggang gadis itu dan menariknya ke arah yang berlawanan saat laba-laba yang hampir mati itu berbaring terbalik, berkedut dan memekik dengan sangat aneh. Dalam satu gerakan cepat, hewan itu membalik sisi kanan ke atas dan merangkak ke semak-semak.
"Ini benar-benar gila," kata Miko. "Pernah nggak, ketemu laba-laba segede itu?"
Zaki menggelengkan kepalanya. "Nggak."
"Sial," gumam Tiwi, menyeka lendir dari wajahnya dengan lengan kemeja. Dia menarik napas dalam-dalam dan menatap, ngeri, pada benda lengket itu. Jantungnya masih berdebar kencang. Dia menghapus sisa kotoran dengan daun merah marun raksasa, mencoba mengenyahkan laba-laba yang menakutkan itu dari pikirannya.
Zaki menariknya ke dalam pelukannya yang erat, tidak mempedulikan baju yang penuh lendir hijau. "Lu baik-baik saja, kan, Wi?"
"Kepalaku sakit, tetapi aku baik-baik aja. Trims udah nanya, dan maaf udah bikin kalian ketakutan. Aku nggak lihat ada gundukan di antara daun besar."
"Lu yakin lu baik-baik aja?" tanya Miko. "Lu lumayang banyak nenggak cendol ijo laba-laba."
Tiwi memaksakan senyum tersungging di bibirnya. "Aku baik-baik saja. Serius. Malah rasanya aku tambah langsing. "