Lihat ke Halaman Asli

Ikhwanul Halim

TERVERIFIKASI

Penyair Majenun

Terdampar di Perut Bumi - Buku Satu: I. Terdampar (Part 22)

Diperbarui: 1 Desember 2022   17:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. pri. Ikhwanul Halim

Kerikil bergeser di bawah sepatu Tiwi saat menuju pantai. Lengannya terasa berat dan mati rasa. Rasa sakit di kakinya bertambah karena beratnya pakaiannya yang  basah. Napasnya terengah-engah. Tinggal beberapa langkah lagi.

Saat kakinya menyentuh pasir pantai, Tiwi berteriak penuh kemenangan, lalu rebah karena kelelahan. Rasa lega karena sudah berhasil selamat diwarnai dengan penyesalan bahwa orang tuanya tidak bersamanya. Dia memikirkan liontin perkanya yang berada di dasar laut, dan berpikir seharusnya, saat panik dia memasukkannya ke dalam saku. Liontin  adalah pusaka keluarga, turun temurun dari nenek ke ibunya da kemudian ke Tiwi. Mama dan papanya membawa kalung itu ke mal dan menyisipkan potret keluarga sebagai hadiah ulang tahun keenam belas. Dia rindu melihat wajah mereka lagi. Namun, pada saat itu, yang dipikirkan hanyalah keluar dari air.

Betapa menyenangkan rasanya berbaring di pantai yang hangat dan kering. Napasnya yang tersengal-sengal mereda, meski paru-parunya masih terbakar dan kepala berdenyut-denyut.

Ombak lembut menyapu garis pantai, beberapa sentimeter dari wajahnya. Dia merasakan pasir pantai lengket di pipi. Berguling telentang, Tiwi menghirup udara segar dan membiarkan sinar matahari menghangatkan kulit. Matanya terbuka lebar melawan cahaya yang menyilaukan. Dia tahu bahwa dia harus bangun, tetapi dia hanya berbaring di sana, tidak bergerak.

Miko merangkak keluar dari air dan jatuh dengan wajah lebih dulu ke pasir putih. Zaki berjuang untuk berdiri dan jatuh di samping Tiwi.

Gadis itu menghirup aroma asin laut dan daun kelapa. Nyanyian burung yang ceria bergema di udara. Monyet memekik, dan simfoni serangga terdengar di telinganya.

"Kita di sini ... entah di mana 'di sini' berada."

Miko berdiri tapi kemudian jatuh berlutut, memuntahkan pasir dan menyekanya dari pipinya. Dia berbalik dan menghadapi bentangan garis pantai yang tak terputus. "Sepertinya tidak ada manusia di sini."

Tiwi mencari di langit untuk helikopter atau pesawat, tanda-tanda kehidupan manusia. Pasti ada yang telah mengetahui lokasi mereka dan akan segera datang menjemput. Ini hanya masalah waktu, bukan? Tetapi tanpa persediaan, waktu tidak berpihak pada mereka.

Otot-ototnya sakit karena kelelahan, tetapi dia memaksakan diri untuk berdiri. "Di mana tim SAR? Aku tidak ingin terjebak di sini dengan serangga raksasa."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline