Ketika masih kecil, aku makan di meja. Makan siang yang dikemas dalam kotak. Sebenarnya ada dua meja dengan makanan yang dikemas dalam kotak.
Satu tempat anak-anak rewel atau kaya duduk. Ibu mereka mengemas makan siang dalam kotak plastik mewah berwarna cerah, bertumpuk satu sama lain. Aku rasa tidak banyak ayah yang mengemas makan siang saat itu.
Di meja kami, selain dari anak-anak yang makan dari kotak ayam goreng tepung lokal plagiat resep waralaba dari luar negeri, kami semua punya roti bakar. Sebuah pisang dan minuman di botol plastik yang diisi ulang. Orang tua kami bekerja. Ibuku seorang perawat, kebanyakan bekerja malam.
Rotiku terlihat paling tidak menarik karena ibu tidak membuang pinggirannya yang keras. Hanya dioles margarin tipis-tipis dan beberapa butir meses. Remah pinggiran royi mengotori dadaku.
Tapi, untuk bersenang-senang, aku menekan rotiku di antara jari telunjuk dan ibu jari beberapa kali hingga setipis kertas karton. Kemudian, aku akan meminum teh hangat di Tupperware biru tinggi yang bau, diselotip karena bocor.
Tidak ada gunanya mengeluh tentang Tupperware yang bau dan lengket. Ibuku kehilangan indra penciumannya saat masih kecil dengan septum yang menyimpang. Lubang hidung kananku juga tersumbat, tetapi setiap waktu makan siang, aku bersumpah bahwa aku tidak akan pernah melakukan operasi untuk memperbaikinya dan aku akan menjadi ibu yang dapat mencium bau Tupperware yang menjijikkan. Aku akan menjadi ibu yang memotong kulit roti dan pasti membelah setangkup roti menjadi dua segitiga mini juga.
Aku juga akan menjadi ibu yang akan menghiasi rotiku dengan mesed warna warni untuk menghibur anakku.
Bu Sukma, guru bahasa Indonesia kami, menyuruhku untuk menulis ulang karanganku sebanyak yang diperlukan (dengan pensil, karena tanganku belum siap untuk menulis dengan pena tinta). Aku mencoba untuk tidak membiarkan air mataku menetes di lembaran kertas, sementara Evelyn Digdoyo mendapatkan nilai sepuluh) sampai aku tahu apa yang salah dengan tulisanku ini.
Bandung, 10 November 2022