Lihat ke Halaman Asli

Ikhwanul Halim

TERVERIFIKASI

Penyair Majenun

Legenda Sang Perusak (Bab 42)

Diperbarui: 20 Oktober 2022   11:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. pri. Ikhwanul Halim

Hari itu adalah hari yang sangat indah bagi Taluk Kuantan. Tapi Taluk Kuantan bukanlah tempat untuk membeli mobil, atau setidaknya bukan mobil yang layak dikendarai.

Gumarang meninggalkan rumahnya karena keinginan membeli mobil baru, tetapi dia juga tahu bahwa dia sebaiknya memeriksa beberapa tempat penjualan mobil di kota. Ayahnya telah membangun hubungan baik dengan beberapa dealer di sini, dan dia setidaknya harus memberi mereka muka demi bisnis.

Karena semuanya berada di jalan keluar kota, pemberhentiannya cepat, dan dia tidak membuang banyak waktu. Terakhir kali dia berbelanja mobil, dia menemukan apa yang dia inginkan saat itu di Sentajo. Sentajo bahkan tidak sebesar Taluk Kuantan, tetapi orang-orang di sana memang memiliki selera yang lebih baik. Dan juga tidak jauh.

Dalam perjalanan ke luar kota, dia harus melewati rumah sakit Awang, dan dia sedikit keberuntungan yang dia pikir sudah meninggalkannya, Kuntum kebetulan keluar dari sana. Berhenti di tepi jalan, dia melompat keluar dari Jaguar dan menyusul Kuntum sebelum istri Awang itu naik ke mobilnya sendiri.

"Apa kabarmu, Kuntum? Sudah lama kita tidak bersua."

"Iya, Gum. Awang dan aku punya masalah. Kami sudah mencoba menyelesaikannya dan aku tidak punya waktu untuk melakukan banyak hal di luar rumah."

"Oh, sungguh, teruk nian. Aku harap kalian bisa menyelesaikannya," katanya tanpa niat tulus sama sekali.

Dengan senyum bersinar yang langsung muncul di wajahnya, Kuntum berkata, "Menurutku kami sudah mulai membaik, Gum. Setidaknya aku pikir itu akan menjadi lebih mudah sekarang. Tujuh bulan dari sekarang kami akan memiliki apa kami dambakan selama beberapa tahun terakhir. Bukankah itu hebat? Aku belum pernah melihat Awang begitu bahagia."

"Ya .... ya itu bagus, Kuntum. Aku ikut senang untukmu."

Kata-katanya keluar dengan kepahitan yang tidak bisa dia tekan, dan Kuntum menyadarinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline