Aku pergi ke rumah Tuan Syarif di Bogor sore berikutnya. Sejauh menyangkut mobil, tampaknya aku sukses tanpa syarat sebagai mata-mata yang sedang menyamar. BMW 321i milikku dan BMW 532i David telah kujual dan sekarang aku boleh memakai Mercedes Benz E200 yang disediakan Joko.
Aku mulai mengerti apa yang dia maksud ketika dia bilang bahwa departemennya memiliki 'kekuasaan yang luas' dan 'akses ke dana yang tidak diketahui oleh wajib pajak'.
Menyeringai puas pada diri sendiri ketika menuju ke Bogor, memikirkan petugas pajak yang mungkin akan bertanya-tanya bagaimana mungkin direktur dari sebuah perusahaan Teknik perkapalan yang baru saja dilikuidasi menuju daerah pinggiran Bogor dengan Merzrdes yang masih baru.
Tuan Syarif seperti anak kecil yang menerima set kereta listrik yang diidam-idamkannya ketika aku muncul membawa foto tank dari Pertempuran Teminabuan. Seperti seorang laksamana di anjungan kapal perang, dia duduk di mejanya, memegang foto itu dengan penuh hormat.
Dia bolak-balik memeriksa ilustrasi dari buku referensinya melalui kaca pembesar besar dan membandingkannya dengan foto. Kaleng tembakau yang pada kesempatan kperpatam kurang kuperhatikan, berdiri di atas meja di depannya.
Dia memandangku dengan takjub.
"Saya tidak bisa mengatakan betapa senangnya saya tentang ini, Tuan Handaka," katanya, dan matanya yang berair berkedip dengan antusias di balik kacamata tebalnya. "Ini adalah tambahan yang bagus untuk arsip."
"Senang mendengarnya," kataku.
Senyumnya makin mengembang ceria. "Ini menegaskan apa yang saya harapkan, Tuan Handaka," Dia mengetuk buku referensi. "Itu sesuai dengan catatan komandan tank untuk Pertempuran Teminabuan dan sejarah Perang Trikora."
"Ya," aku setuju, "seperti teks di buku referensi."