Lihat ke Halaman Asli

Ikhwanul Halim

TERVERIFIKASI

Penyair Majenun

Legenda Sang Perusak (Bab 10)

Diperbarui: 15 September 2022   17:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. pri. Ikhwanul Halim

Setelah senja, ketika kemarahan Awang perlahan diredakan dengan setiap tegukan tuak nira, dia mencoba memikirkan hal lain selain Kuntum dan Gumarang. Mereka merencanakan sesuatu di belakangnya, dan dia tidak bisa tetap fokus untuk mencari tahu.

Kembali ke masa kuliahnya, minum tiga teko tuak tidak menjadi masalah, tetapi dia menemukan bahwa batas toleransinya sekarang jauh di bawah itu. Perasaan mual mengaduk perutnya disertai keinginan untuk muntah padahal dia baru setengah jalan untuk teko keduanya. Abdi kedai tidak memandangnya sebelah mata dengan tip yang telah dia selipkan, meskipun dia tahu pasti bahwa pelanggannya adalah dokter untuk kota.

Taluk Kuantan sedang mengalami masa sulit, padahal kota ini jauh lebih baik daripada sebagian besar wilayah Kesultanan Melayu Raya. Beberapa dirham ekstra di sana-sini jelas merupakan kebijaksanaan. Sayangnya, malam-malam residensi tanpa tidur telah mengubahnya menjadi pengecut sejati, lebih menginginkan tidur daripada waktu yang baik. Apa jadinya dunia ketika dia bahkan tidak bisa meminum minuman kesukaanya sepuasnya?

Baiklah... selama dia bisa menenggelamkan kesedihannya dan menenangkan kecemasan yang hampir selalu hadir dan menyusup ke dalam hidupnya sejak kecelakaan itu. Selain itu, rasa tuak, baik tuak nira, tuak kelapa atau nipah, masih lebih enak daripada benzodiazepine.

Ketika akhirnya dia berhasil menuntaskan teko keduanya, Awang telah mencapai titik untuk dengan mudah tertidur di kedai, terbangun dua belas jam kemudian dan masih mabuk dan berputar seperti gas. Tersandung saat keluar pintu, perutnya mengirimnya dorongan untuk muntah dan membuat semuanya lebih baik. Saat tuak berputar-putar balik ke tenggorokan dari ujung lidahnya, dorongan yang lebih besar memaksanya untuk memuntahkan tuak hangat ke ujung sepatunya.

Dengan sedih, dia mulai mencari mobilnya dengan susah payah. Dia tahu itu pasti ada di suatu tempat. Bagaimana lagi dia bisa sampai ke kedai tuak sialan itu? Mobil jenis apa yang dia miliki? Dia bahkan tidak bisa mengingatnya sekarang....

Perlahan-lahan, gambar Toyota Badak berwarna hitam putih muncul di kepalanya. Di mana dia meninggalkan tapir tua itu? Mungkin sedang berkubang di lumpur.

"Hai tapir!" Dia berteriak.

Dia tersenyum pada dirinya sendiri. Seharusnya aku menjadi pelawak. 

Kemudian dia berjalan dari mobil ke mobil, kadang-kadang tersandung rintangan tak kasat mata yang ditanam setan untuk mencegah pencariannya, Awang akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa Badak-nya telah dicuri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline