Lihat ke Halaman Asli

Ikhwanul Halim

TERVERIFIKASI

Penyair Majenun

Begal Rimba Tulang Bawang (Bab 19)

Diperbarui: 15 September 2022   08:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. pri. Ikhwanul Halim

Ganbatar tersentak kaget. "Tunggu Janar! Apaaa? Kau tak ingin bersamaku menyelidiki desa terkutuk di depan itu? Bukankah kau dan aku biasa melakukan hal semacam ini bersama-sama? Dan kau pikir Keti mau tertarik untuk---"

"Aku ingin pergi dengannya," Keti tiba-tiba memotong Ganbatar. "Maksudku ... lebih baik aku pergi. Aku lebih kecil dan lebih cepat dari Ganbatar, jadi aku lebih cocok untuk melakukan pengintaian dengan Janar."

Ubai dan Palupi mengerutkan alis. Bola-bola mata keduanya menyipit tajam, melayang bolak-balik antara Janar dan Keti.

Resi Umbara tersenyum dan mencoba menahan tawa menonton drama tanpa babak di depannya. "Kalau Anda sekalian bertanya kepada saya, saya percaya Keti lebih cocok untuk peran itu. Dia kecil dan lincah, tidak seperti Ganbatar yang dari bentuk kuncirnya sudah menarik perhatian, apalagi sosoknya yang seperti badak berdiri."

Palupi bersiul dan menggenggam tangan Keti. "Sudah beres kalau begitu. Keti dan Janar akan mengintai desa. Kalian tidak dapat membawa senjata apa pun supaya Anda tidak menimbulkan kecurigaan. Jika kalian tidak kembali saat matahari terbenam, maka kami akan menyimpulkan bahwa telah terjadi hal terburuk dan kalian mungkin sudah tewas, setuju? "

Janar mengangguk. "Begitulah rancangannya."

Dia membawa bekalnya menyerahkan kepada Keti sebuah keranjang berisi makanan dan pakaian. "Jika ada yang bertanya, kita adalah pedagang keliling waisya yang sederhana, di sini untuk urusan dagang."

Selagi dia dan Keti berkemas-kemas dan siap untuk menyusup ke desa Tudung Tenuk, Palupi menepuk bahu Keti. "Ingat, jangan bertindak sendirian. Ini adalah kerja kelompok. Kalian mengintai layaknya telik sandi dan kembali ke sini."

Keti mengangguk dan menaiki kudanya dengan keranjang diikat ke kuda. Yang lainnya menjura mengucapkan doa selamat untuk mereka dan menunggu mereka kembali di bukit.

Suara derap kaki kuda yang di jalan tanah memenuhi rongga telinga Keti dan dadanya berdebar kencang saat mereka mendekati desa. Dia menoleh ke samping dan melihat Janar menatapnya dengan senyum hangat di wajahnya. Keti langsung memalingkan wajahnya dan dari sudut matanya, dia masih bisa melihat pria itu menatapnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline