Pada hari kedua liburannya di Yogyakarta, Prima disengat ubur-ubur.
Satu menit dia memunculkan kepalanya dari ombak Parangtritis yang hangat, menikmati matahari dan dengungan yang dia dapatkan dari botol bir yang telah dia singkirkan sejak dia dan teman-temannya pergi ke pantai, menit berikutnya dia mengapung bermalas-malasan, melihat apa yang tampak seperti kantong sampah merah muda mengambang di air beberapa meter jauhnya, dan menit berikutnya setelah itu dia meronta-ronta berusaha kembali ke pantai dengan api yang membakar menyebar melalui bahu, lengan, dan paha kanannya.
Dia terhuyung-huyung ke pantai, menggapai tentakel berlendir dan bening yang menutupi kulitnya, mencoba mengikisnya. Dia menemukan kemudian bahwa itu seharusnya tidak boleh dilakukan. Dokter di klinik mengatakan kepadanya bahwa itu hanya menyebabkan lebih banyak 'nematocysts dinembakkan,' atau apapun itu. Intinya, hanya memperburuk keadaan, menyebarkan luka bakar makin banyak.
Berdiri di sana di pantai, dia melompat dan menggeliat seperti penari kejang di atas bara, samar-samar mendengar jeritan bernada tinggi di latar belakang, yang kemudian dia sadari adalah suara teriakannya sendiri, sesuatu yang kemudian menjadi bahan olok-olok teman-temannya di kemudian hari. (Yep, Prim. Lu menjerit persis cewek pertama kali menstruasi!)
Mereka yang disebut teman-temannyasama sekali tidak menolong. Bahkan tampaknya kesulitan untuk melepaskan handuk pantai mereka untuk melihat apa yang terjadi. Mereka menjadi sedikit lebih simpatik dan serius ketika mereka melihat bekas luka merah menyebar di lengan dan kaki Prima.
Menyangkut sengatan ubur-ubur, yang bisa mereka ingat hanyalah menyiramnya dengan air kencing, yang tidak satu pun dari mereka, termasuk Prima, yang bersedia melakukan Ternyata kemudian hal itu mungkin benar-benar membantu, setidaknya menurut dokter.
Untungnya bagi semua orang, seorang pemandu wisata lokal dari kafe terdekat datang dengan sebotol cuka dan menuangkannya ke tubuh Prima. Meski tidak menyembuhkan luka bakar, tapi setidaknya berhenti menyebar.
Pria muda itu mengarahkan mereka ke klinik, dan beberapa jam kemudian Prima kembali ke hotelnya, bersandar di tempat tidur dengan dosis Demerol yang mengalir melalui pembuluh darahnya, sebotol Vicodin di meja samping tempat tidur untuk nanti, dan bir dingin di tangannya.
Teman-temannya semua telah kembali ke pantai, tetapi dia cukup puas untuk tetap tinggal di kamar. Lengan dan kakinya masih sakit, tapi itu hanya kebas dan berdenyut sekarang.
Dia menonton sendratari di saluran TV lokal dan ketika obat dan alkohol bercampur di otaknya, dia bahkan berpikir dia mulai mengerti bahasa Jawa.