Sang Pendakwah di radio menceritakan kisah yang diceritakan setiap generasi tentang dirinya sendiri.
Ini perang, katanya, dan surat kabar tidak sampai ke kota kecil kami. Mereka yang menemukan edisi spesial dan berani membacanya, tidak akan punya nyali untuk mengambil risiko membagikan apa yang telah mereka baca.
Perpustakaan kini berupa puing-puing. Memiliki radio adalah pelanggaran berat.
Seorang lelaki yang kukenal, kata Sang Pendakwah, dieksekusi karena mengencingi namanya di pasir. Penerbit, mereka menyebutnya. Penerbit berita hoaks.
Tidak ada berita, tidak ada bahan bakar, tidak ada makanan. Alih-alih makan malam, kami kimenyanyikan lagu-lagu tentang negeri makmur, lagu-lagu cinta dan masa remaja, dan tentang dewa yang baik dan pemaaf. Yang dulu pernah dan akan selalu menjadi dunia yang subur ini.
Ketika kami tidak punya apa-apa lagi, mereka mengambil peta dan buku-buku yang kami sembunyikan, yang sebenarnya juga merupakan peta.
Untuk semua yang kami tahu, kami adalah satu-satunya dari jenis kami yang tersisa di bumi. Kami saling berbagi cerita dari kitab suci. Ayahku seorang pendakwah, kata Sang Pendakwah, hafal banyak ayat.
Aku hanya ingat lagu-lagu, dan lirik lagu-lagu itu telah kutulis ulang berkali-kali dan kuubah agar sesuai dengan suasana hatiku sendiri.
Sekarang aku mencari orang lain yang mengetahui lagu yang sama, sehingga kami dapat menyanyikannya kembali dan menulis ulang lagu tersebut di udara, sebelum berbicara dilarang.
Aku ingat juga beberapa perumpamaan dan tamsil. Beberapa doa, pelajaran, halaman yang pernah dihafal dan masih utuh.