Lihat ke Halaman Asli

Ikhwanul Halim

TERVERIFIKASI

Penyair Majenun

Menulis Menjelang Tidur Malam

Diperbarui: 19 Maret 2022   22:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

medium.com

Hal yang menakutkan bagiku adalah, jika aku sudah pernah menulis ini sebelumnya. Sayangnya, menulis apa yang ada di benakku telah menjadi zona nyamanku, modus operandiku. Merasakan sesuatu mengganjal di tenggorokan bukanlah hal baru bagiku. Jadi di sinilah aku, menatap layar kosong di depanku. Tenggat waktu, dan aku tidak punya apa-apa.

Bukan hal baru bagiku, tetapi mungkin aku salah ketika menyebutnya sebagai zona nyaman. Ini lebih merupakan keakraban masa lampau yang tidak tergoyahkan, garis dasar yang tinggi untuk kecemasan. Kita diberitahu bahwa kita semua memiliki dua naluri utama. Kita telah mendengarnya dari entah kapan. Kita diajari bahwa untuk bertahan hidup, kita merespons dengan kabur atau melawan. Itulah tujuan kita.

Namun, seperti segala sesuatu, ada area abu-abu. Aku bukan petinju dengan gaya kupu-kupu terbang. Di saat krisis, otakku mungkin membeku. Panik. Hancur. Pupus. Musnah.

Tentu saja, jika kamu membaca ini, kamu tahu akhir ceritanya. Kamu sudah menduga hasil akhir, tidak diragukan lagi.

Ada harga yang melekat hanya dalam bercerita. Tapi, aku tidak pernah percaya bocoran. Ini tentang perjalanan. Ini tentang kisah mencapai akhir.

Awalnya, aku tidak berpikir akan pernah menganggap diriku. Aku tidak pernah menerbitkan tulisan serius selain olok-olok sebagai puisi (seperti artikelku sebelum ini). Aku tidak pernah membuat karya yang substansial atau monumental. AKu tidak pernah benar-benar fokus untuk benar-benar menceritakan sebuah cerita secara tertulis. Jadi, kupikir dari situlah keraguan ini berasal. Keengganan untuk berkomitmen pada sesuatu yang saya tahu adalah di luar pemahamanku sendiri. Keraguan bahkan sebelum satu karakter pun, apa pun, muncul di halaman layar. Sebuah ketakutan akan penghakiman. Dan itu adalah sesuatu yang sangat kukenal. Takut bagaimana orang lain melihatku. Khawatir mereka akan melihatku sebagai aku.

Menengok ke belakang, ada contoh gangguan kecemasan sepanjang hidupku. Insomnia akut.

Kata-kata 'penyakit mental' tidak pernah digunakan sampai universitas, tapi itu selalu ada, itu pasti. Pada usia lima  tahun, ibuku harus meminta tetangga untuk membantu menyeretku dari rumah ke dalam becak karena aku berjuang keras untuk tidak pergi ke dokter padahal demam tinggi.

Tapi ada saat-saat aku belajar menjadi orang kuat.

Umur enam tahun aku menjadi tak takut kepada anjing karena untuk les piano aku melewati penjagaan enam ekor herder penjaga asrama putri tempatku belajar. Pernah ibu menghukumku-entah untuk apa, aku tak ingat-dengan mengurungku di gudang gelap, dan sejak itu, mekanisme pertahananku melatihku untuk tidur dalam gelap gulita tanpa cahaya.

Meski banyak kisah masa kecilku, tidak banyak kenangan yang tersimpan. Tidak ada kilas balik. Aku mengingatnya karena kisah-kisah ini diceritakan kepadaku sebagai anekdot tentang bagaimana aku tumbuh sebagai anak yang pemalu. Aku tidak benar-benar memiliki ingatan tentang masa kecil itu. Dan sementara aku bisa membacakan potongan untuk membuatnya tampak traumatis, itu tidak benar-benar terasa seperti itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline