Lihat ke Halaman Asli

Ikhwanul Halim

TERVERIFIKASI

Penyair Majenun

Perang Dibatalkan

Diperbarui: 28 Februari 2022   14:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

medium.com

Puing-puing kehancuran dan mayat bertebaran di mana-mana. Yang hidup melarikan diri ke belakang meninggalkan kehancuran,

Yang mati hidup kembali.

Jantung pemilik toko roti berdetak kencang, napasnya satu-satu, sampai sisa-sisa material tokonya yang hancur terangkat dari dadanya, membebaskannya untuk berdiri dengan mata terbelalak di belakang mejanya, menyaksikan peluru kendali melayang mundur dan menjauh seperti balon mainan anak-anak ke langit yang penuh bercak ledakan.

Peluru melesat di udara, meluncur kembali ke dalam laras senapan. Amunisi dari menit ke menit mengangkat orang-orang  dari tanah, melompat bebas dari punggung mereka, menutup lubang di daging mereka. Selusin dari mereka menarik seorang ibu berdiri, sementara semburan api membuat putra dan putrinya utuh dalam pelukan satu sama lain. Air mata ayah mereka mengalir ke atas ke matanya, dan dia bertanya-tanya, bagaimana ini bisa terjadi pada kami?

Tidak adakah orang di luar sana yang peduli dengan apa yang terjadi?

Langit bersih dari awan asap racun bom kimia. Retakan di jendela toko menutup dan kusen kembali utuh. Ledakan mengepal seperti tangan, menutup, meratakan trotoar. Bangunan tua yang rubuh kembali tegak berdiri, dan orang-orang bergegas mundur menuju asal yang tadinya tinggalkan di belakang.

Bata demi bata, tarikan dan embusan nafas, seluruh kota disatukan dari keping-keping kehancuran, dan peluru kendali dan bom menghilang, dibongkar, dicabik-cabik menjadi bahan mentah yang dikembalikan ke perut bumi untuk berbaring dalam keheningan, kuburan yang dibuka dan dikosongkan satu per satu. Lahan pedesaan menghijaun dan kuning keemasan menyembunyikan parut bekas luka.

Setelah semua ini, si ibu, tanpa bekas peluru, melemparkan pakaian bersih ke dalam mesin cuci dan menariknya keluar pakaian bernoda lumpur dari laga sepak bola antar kampung peringatan kemerdekaan yang akan datang.

Di luar, di rerumputan yang baru dipotong di halaman mereka, putranya mengejar adiknya dengan senapan plastik sambil berteriak, "Dor! Kena!"

Ibu mereka sambil lalu menonton berita di televisi sementara suaminya mengemudi mobil pengantaran roti secara mundur. Pembawa berita berbicara tentang negeri-negeri yang jauh dan masalah-masalah mereka yang jauh. Dia menyebut orang-orang yang tidak dikenal ibunya---orang-orang yang tampaknya tidak cukup nyata untuk khawatir, orang-orang yang lahir setiap hari dengan semangat kerja yang membangun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline