Lihat ke Halaman Asli

Ikhwanul Halim

TERVERIFIKASI

Penyair Majenun

Berbagi Waktu

Diperbarui: 23 Februari 2022   14:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

istockphoto.com

Kami berjalan zig-zag di sepanjang jembatan batu yang melengkung menuju restoran. Kabut menyelimuti permukaan air yang penuh dengan ikan koi, meskipun hari ini cerah di tempat lain, proyeksi hologram cuaca dari ratusan tahun yang lalu.

Putri kami, Seruni, dengan bersemangat menyusun katalog warna-warni ikan yang cemerlang dengan kosakatanya yang terbatas. Di seberang kolam rawa aku bisa mendengar bunyi sampan yang tak terlihat menabrak sisi dermaga, gaungnya terdengar hampa.

Bersama kami untuk santap malam, teman sekelas Ghea, telah memesankan meja sebelumnya. Jadi ketika kami akhirnya berhasil membujuk Seruni untuk ikut ke resto, kami dikawal melalui ruang tunggu yang ramai, melewati jembatan, melewati taman yang tenang, ke paviliun kaca, lalu duduk di meja kayu sederhana yang menghadap ke sudut rawa baru.

Seperti biasa dimulai dengan basa-basi. Teman kuliah Ghea, suami dan istri, keduanya berkacamata dan berpakaian rapi, memuji kecantikan putri kami: mata bundar gelap teduh, kulit pucat, kuncir rambut cokelat kastanye.

Daftar menu seperti puisi, bait-baitnya tak dapat kumengerti. Tetapi kedua suami istri yang merupakan penduduk asli mengambil alih.

Pikiranku mengembara mengikuti perjalanan bus antar propinsi selama lima hari melintas bukit dan selat, untuk mengunjungi ayahku sebelum pikirannya tenggelam juga jauh ke dalam lumpur demensia.

Ibu bilang ayah makan daging berjamur, perlu dirawat di rumah sakit. Dia tidak bisa lagi mencium bau. Terakhir kali kami mengunjunginya adalah beberapa bulan sebelum Ghea dipindah ke cabang Kobe. Pada saat itu Ayah bagai robot yang kaku saat berhadapan dengan masa kini, tetapi menyala berapi-api sebagai hantu masa lalu. Sama seperti Kakek.

Seruni gelisah, jadi aku mengajaknya berkeliling. Kami menemukan ruang makan dengan pemain koto. Kerudungnya berkilauan dengan setiap nada yang lahir dari jentikan jari laba-laba di senar papan bunyi. Aku membayangkan semburan kabut air terjun yang sejuk dan menyadari bahwa aku sedang menonton dan mendengarkan sebuah hologram yang diproyeksikan ke masa kini dari kegelapan abad industrialisasi.

Ketika Seruni mencoba melompat, aku memeluknya erat-erat, berharap dia bisa menikmati keajaiban teknologi ini bersamaku, selama fokusnya memungkinkan.

Saat kembali, kami disambut oleh hidangan shabu-shabu, sup seafood pedas, dan banyak makanan lezat lainnya. Jamuan dengan karangan bunga yang lembut, mungkin karena beberapa keanehan sistem ventilasi resto.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline