Fifi tidak ingat kapan mulai terjadinya, tapi akhir-akhir ini rasa percaya dirinya menurun. Bukannya dia berusaha menjadi pusat perhatian, tapi dia tidak lagi senang bertemu orang baru. Antara pensiun dini dan nyaris bangkrut, kepercayaan dirinya ikut menyusut.
"Keluar, temui orang-orang," kata adiknya Lili, melalui telepon pada suatu sore. "Kampung itu ada klub merajut dan jelajah alam," lanjut Lili.
"Gampang buat kamu," jawab Fifi. "Kamu sudah tinggal di sini selama dua puluh tahun. aku pendatang baru. Selain itu, kamu selalu pergi liburan."
"Omong kosong," kata adiknya. "Uni harus berbaur. Kampung itu orangnya ramah-ramah semua. Papan pengumuman penuh dengan kegiatan yang bisa Uni ikuti. Pilih satu yang Uni suka. "
Fifi tidak membantah. Dia yakin Lili ikut salah satu kegiatan itu. Namun, Fifi tidak tertarik dengan kelompok aktivitas di papan pengumuman. Dia tidak mengerti merajut atau menikmati berjalan-jalan di pedesaan. Lagi pula, bukan hari-hari yang ingin diisi Fifi. Malam hari paling sepi dan acara televisi tidak menghibur lagi.
Fifi telah melakukan hobi baru, tetapi semuanya adalah kegiatan yang menyendiri. Berkebun adalah favoritnya. Dia ingin mempercantik pondok kecilnya, yang tampak menyedihkan ketika dia membelinya. Dia menciptakan taman dapur hidup di pekarangan belakang dan membayangkan petak sayurannya yang menghadap ke pedesaan. Di bagian depan, dia menginginkan taman bunga klasik.
Malam tiba dan Fifi keluar untuk memetik seledri dari kebun untuk ditambahkan ke makan malamnya. Panasnya matahari masih terpancar dari bebatuan.
Saat Fifi membungkuk untuk memetik, dia mendengar bunyi gemerisik dekatnya. Dia menjadi waspada, matanya menerawang ke arah suara itu. Semak daun mint bergoyang seolah-olah ada sesuatu yang menerobos. Fifi menatap, daun seledri di tangan, saat sesosok makhluk muncul.
Dia menghela napas panjang dan menutup mulutnya.
"Ya ampun, kamu membuatku takut," katanya pada makhluk itu. "ternyata kamu seekor seekor kura-kura."