Mikael Danuarta sudah mati, tetapi namanya masih hidup.
Kayla menutup pintu apartemennya, menguncinya, dan menarik napas panjang dalam keheningan studio yang gelap. Dia menyelinap keluar dari sepatu hak tingginya dan menyimpannya di rak, melepaskan jaketnya dan menggantungnya di dinding dengan tangan gemetar.
Lampu menyala, apartemennya bersih dan nyaman.
Satu tahun yang lalu, sebelum hormon dan elektrolisis, sebelum nama dan jenis kelamin berubah, sebelum dia melepaskan semua hal-hal yang berhubungan dengan dirinya yang lama, tempat itu sangat berbeda: berantakan, apak. Habitat sesuatu yang tidak sepenuhnya manusiawi.
Dia belum merasa menjadi manusia saat itu. Dia merasa aneh, seolah-olah dia terperangkap dalam labirin kulit, yang membuatnya ingin menjadi ular yang bisa berganti kulit dengan pola menggeliat yang sangat rumit.
Seharusnya aku juga pindah dari sini, pikirnya. Harus. Harus pindah.
Alamatnya adalah satu-satunya tanda dari kehidupan sebelumnya yang masih tertinggal.
Yah, masih ada waktu untuk itu. Tapi untuk saat ini, tidak ada jejak dari dirinya yang lama di tempat itu yang tersisa.
"Mika?"
Suara Dodi. Dodi Sofyan dalam kehidupan sebelumnya, badut SMA yang penuh jerawat, pemain bass drum di marching band SMA.