Pertemuan mereka akan dicatat dalam sejarah sebagai pertempuran epik di bidangnya masing-masing.
Komentator Media dan Pakar Filsafat Sejarah.
Komentator telah terasah keterampilannya melalui puluhan ribuan jam mewawancarai segala macam pakar dan selebriti serta politisi yang tak terhitung jumlahnya. Dia bangga dengan riset dilakukannya yang teliti. Dia selalu tahu lebih banyak tentang subjeknya daripada yang mereka sendiri. Dia menikmati saat-saat ketika subjek menjadi mangsanya, tertangkap basah oleh penyelidikannya yang cerdik.
Pakar Filsafat Sejarah, pada sisinya, yakin akan pengetahuannya yang mendalam tentang subjek yang akan mereka debatkan. Selama beberapa dekade, dia telah mempelajari dan menganalisis setiap sudut, mendapatkan akses ke dokumen, situs dan artefak yang belum pernah dilihat orang lain di dunia, dan selalu berhasil menghancurkan siapa pun yang meragukan keahliannya. Apakah dia mahasiswa yang kurang ajar atau doktor terkenal di dunia.
Dan kini kedua legenda ini duduk berseberangan di studio TV yang gelap. Mereka telah saling bertukar ejekan melalui wawancara surat kabar dan artikel jurnal selama bertahun-tahun, sekarang saatnya untuk bertarung head-to-head.
Pengarah panggung memberi isyarat kepada Sang Komentator. Acara debat disiarkan langsung di jaringan televisi nasional, prime-time.
Komentator meluncurkan serangan pertamanya tanpa tedeng aling-aling, membidik apa yang dia anggap sebagai kelemahan terbesar dalam pandangan Pakar Filsafat Sejarah.
Pakar Filsafat Sejarah menyerang balik dengan mudah, menunjukkan cacat logika argumen sang Komentator.
Mereka saling menyerang dengan keahlian verbal, masing-masing mengerahkan semua keterampilan yang dimiliki untuk mengalahkan lawannya. Sungguh talk show yang memukau.
Pemirsa di rumah terpaku di depan televisi mereka, duduk menonton pertempuran para dewa.