Jenggotku terlihat bagus.
Setidaknya kupikir jenggotku mulai terlihat bagus, tidak lagi terlihat seperti tak terawat dan berantakan, yang seolah-olah aku malas mencukur untuk satu atau dua hari. Yang sekarang terlihat seperti aku sedang menumbuhkan jenggot.
Opini tentang belukar yang tumbuh di daguku terbelah dua. Adik iparku mengatakan jenggot cocok untukku, tetapi ibu semalam bertanya kapan aku akan mencukurnya. Ibuku yang sudah tua sangat membenci jenggot. Jenggot dan tato. Aku tidak punya tato. Aku juga membencinya, tapi aku bangga memiliki jenggot.
Meski sudah berusaha agar tidak, aku selalu mendapatkan diriku selalu mencoba melihat sekilas jenggot di cermin. Saat mengendarai mobil, berhenti di lampu lalu lintas, diam-diam memeriksa kaca spion untuk melihat apakah jenggotku masih ada. Apakah masih terlihat misterius dan kasar. Aku melakukannya sampai lampu hijau menyala.
Aku berharap tidak ada pengendara lain yang melirik ke arahku saat aku mengambil bagian sebagai anggota pria komunitas terbatas kaum pogonofil.
Ngomong-ngomong, pogonofil artinya mencintai atau ketertarikan pada jenggot. Aku mencarinya lewat Google. Itu kata baru yang kupelajari, meski pemeriksa ejaan di laptopku tak mengenalinya.
Tidak ada yang salah menjadi sedikit narsis. Toh, bisa dibilang para wanita memeriksa riasan atau rambut mereka saat berhenti di lampu lalu lintas setiap saat, bukan?
Jenggotku telah menebal dengan cukup baik. Menutupi dengan bagus, bahkan tanpa bagian pitak yang jelas tidak sedap dilihat yang terdapat pada beberapa lelaki. Dan untungnya belum terlalu gatal juga. Ubannya lumayan banyak, lebih dari yang aku perkirakan, terutama di bawah rahang dan di dagu.
Mengapa jenggotku warnanya dua?
Bukan hal yang mustahil. Aku berusia lima puluh lima tahun bulan depan, jadi beberapa lembar uban di dagu wajar saja, bukan?
Lima puluh lima!