Dua bulan yang lalu, kami menghabiskan sepanjang pagi untuk menggali, menanam lusinan umbi keladi dan lain-lain di halaman belakang kami yang sempit. Awalnya aku membeli di bulan Juni, dari katalog toko bunga online. Foto-fotonya membuatku serasa mencium debu dan lumut kering.
Aku sudah membayangkan bagaimana jadinya nanti dan di mana akan meletakkannya---monstera, aglonema, dan caladium---tak tahu apakah suatu saat aku akan melihatnya mekar kuncup bunga selain daun yang anekarupa. Namanya juga cukup aneh, 'Kuping Keledai', 'Tengkorak Hijau', 'Black Jack', 'Polka Green', 'Red Kujang', 'Janda Bolong' dan 'Duda Buntu', 'Perawan Tingting' dan 'Jejaka Tongtong'.
Tiga nama terakhir hanya karanganku saja.
Kata tetanggaku, Janda Bolong seharga mobil. Aku tersenyum geli. Dia tersinggung.
Dan tiba pada suatu hari yang cerah di bulan Oktober, umbi-umbi itu mekar, kulit tipisnya rontok saat kami memecahkannya ke dalam beberapa pot, bagai tetesan coklat bundar di telapak tangan kami, hanya sedikit lebih berat dari yang tadi perkirakan.
Matahari menghangatkan punggung kami saat kami membungkuk, mematangkan provitamin D dalam tulang seperti anjuran para pakar kesehatan untuk menambah daya tubuh terhadap virus.
Sekarang bulan Desember, langit gelap dan udara lembap. Awan hitam menggantung rendah. Hujan merendam segalanya, termasuk apa ada dalam ingatan tentang apa yang kami lakukan dua bulan lalu.
Apa yang tadinya ada di tanah kusam berbatu tergenang air hujan semalam, kini tak bersisa. Seolah sulap dan sihir mengaduk apa pun yang tumbuh di lahan sempit abu-abu kecokelatan.
Kamu tahu? Sedetik pun aku tak merasa kehilangan.
Bandung, 23 Desember 2020