"Dulu, di kehidupan sebelumnya...."
Aku tertawa dan dia tidak menyelesaikan kalimatnya.
Aku tidak percaya pada kehidupan 'sebelumnya'. Aku tidak percaya 'kelahiran kembali'. Betapa mengerikan membayangkan diriku terjebak dalam siklus lahir-hidup-mati tak berujung, di mana salah satunya mungkin saja aku jadi berhala yang dihancurkan Ibrahim.
Tapi ... kehidupan di dunia lain?
Dimensi yang sejajar dengan dunia ini -- sebagai seorang penggubah drama musikal tentang seorang pemberontak yang begitu ditakuti penguasa sehingga hari-harinya diisi dengan nyanyian dan tarian angsa, dan di dimensi lain lagi --bajak udara yang menguasai jalur penerbangan dari Mars hingga Ganymede, Jupiter.
Tapi dari wajahnya yang pias kutangguk kesedihan khas koleris sanguinis. Mungkin hatinya seberat batu gunung Sisyphus atau salju yang membengkokkan dahan pohon ke bumi. Keduanya beban hidup yang tak tertanggungkan bagi Re.
Dia menangkupkan tangan ke wajahnya, menatap cahaya rembulan dini hari yang menerobos dedaunan sonokeling dari sela-sela jari.
Embun yang baru terbentuk berkilauan bagai mata rindu.
Cakung, 8 November 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H