Mungkin, lebih baik mencoba sesuatu yang baru.
Tiga bulan lalu aku memulai sebuah proyek: menumbuhkan jenggot. Biasanya jenggot kubiarkan tumbuh hanya di bulan November.
Dan pagi tadi, alih-alih mencabut rumput liar yang sudah menjadi hutan rimba di halaman depan, aku memotong jenggotku. Alat cukur listrik bergetar terlalu dekat dengan telinga, menggoreskan luka berdarah dan menyambar rambutku, meninggalkan pitak yang nyata. Maka aku mencukur seluruh rambut di kepalaku. Tidak apa-apa. Menunggu seluruh rambut rontok agar botak sempurna sungguh melelahkan.
Sekarang tampangku mirip dengan residivis asimilasi kambuhan di berita yang kembali tertangkap karena mencuri mobil mewah milik seorang selebriti yang lagi naik daun.
Berita yang tidak pernah aku tonton dan tidak akan pernah kutonton.
Aku suka program tentang polisi menangkap pelanggar rambu lalu lintas dan pengedar narkoba. Ada saluran yang khusus menyiarkannya, dan seluruh kanal televisiku diatur hanya untuk saluran itu. Aku tak tahu siapa yang mengaturnya. Bukan aku yang menyetelnya. Televisiku tak punya tombol, sinyalnya ditembak langsung oleh satelit dari orbit di luar angkasa ke televisiku.
Konon TV pintarku mampu mendengarkan pembicaraan kita. Namun menurutku televisi yang pintar seharusnya sadar bahwa kita mengatakan banyak hal yang tidak layak didengar.
Aku tidak pernah bicara. Tidak sejak Nisa meninggal.
Percakapanku dengan Nisa merupakan monolog. Jika aku melihat penyiar menyampaikan berita bohong, aku akan berteriak memaki-maki ke televisi, dan kemudian menoleh ke kursi Nisa untuk minta maaf atas kata-kata kasarku. Tapi dia tidak di sini.
Kulit kepala yang plontos mengundang hawa dingin, meski menurut ramalan cuaca suhu udara 30 derajat. Jadi aku mengaduk-aduk lemari baju mencari topi yang dirajut Nisa lebih dari tiga tahun lalu. Dia pernah merajutkan topi pendaki gunung untukku. Bayangan dia duduk di kursi sambil merajut membuat bukan hanya kepalaku saja yang dingin. Kini mataku juga basah.
Aku menemukan kado darinya itu teronggok di sudut tempat aku melemparkannya dulu. Topi berwarna merah dengan bola kecil putih di pucuknya kini bertengger di kulit kepalaku. Topi dan jenggot berantakan yang masih bercokol di dagu membuatku seperti Sinterklas yang lari dari penjara. Aku tersenyum. Tampangku memang seperti kriminal licik.