Lihat ke Halaman Asli

Ikhwanul Halim

TERVERIFIKASI

Penyair Majenun

Hari Raya di Kampung Kami

Diperbarui: 5 Juni 2019   16:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: ibtimes.co.in

Lebaran hadir di kampung kami seperti layaknya tamu agung yang datang dari pusat negeri, turun dari helikopter dengan membawa puting beliung yang menumbangkan pohon pisang dan mendarat di depan pintu rumah penduduk.

Begitulah caranya.

Kami bergegas ketika fajar merekah, mengambil air dari sumur yang jauh melewati masjid kampung di samping gedung sekolah, dan entah dari mana, angin kencang datang menerbangkan debu kering.

Kami hampir tak dapat pergi ke sungai tanpa membawa setumpuk debu yang menempel di wajah dan rambut. Bibirku pecah dipanggang puasa kemarau, tampak seperti kain pembersih lantai, jenis yang dipakai untuk membersihkan teras ruang kepala sekolah.

Di sini, musim pancaroba selalu mengerikan, lebih buruk daripada yang pernah dirasakan penduduk wilayah lain.

Nikmah, adik bungsu kami yang masih bayi, sesak napas sepanjang minggu karena debu, dan di malam hari suara paru-parunya menarik udara persis genset buatan Cina yang kelelahan karena terlalu sering dinyalakan akibat listrik sering padam. Tapi bukan suara itu, atau gerahnya udara malam, atau bau ompol Israfil pada kasur kapuk lapuk tanpa seprei yang membuat kami sulit tidur. Mengetahui bahwa Lebaran hampir tiba di sini. Andaikata Lebaran naik L-300 dari Medan, saat ini dia sudah sampai di perbatasan Kabupaten, kurang beberapa jam lagi untuk sampai di sini.

Menjelang pemilu tahun depan, kota kami yang kecil menarik perhatian bagai seorang gadis remaja puber mengenakan gaun bekas selundupan dari Korea yang di beli di Monja. Orang-orang dari kota yang sebelumnya tak tahu ada jalan menuju desa kami tiba-tiba bergegas datang.

 Tuan Sakur hari ini, Bapak Taufik minggu lalu, pokoknya semua orang berenang ke kota kami seakan takut sewaktu-waktu gerbang kota akan terkunci.

Satu-satunya waktu lain saat kota kami ramai adalah saat perayaan hari Kemerdekaan di bulan Agustus sekali reuni akbar sekolah dan peringatan ulang tahun kota. Saat itu setiap perempuan akan berbelanja pasar karena banjir barang diskon.Pasar kami juga dikunjungi para pembeli dari desa dan kota tetangga dibandingkannya dengan harga di tempat mereka, harga barang-barang di tempat kami jauh lebih murah.

Perempuan-perempuan itu datang dengan baju berenda yang masih baru, dan tak pernah sama dengan yang dikenakan tahun sebelumnya. Perhiasan emas asli atau imitasi bergelantungan memenuhi tubuh mereka.

Menurut Yah Sabri ini adalah satu-satunya cara bagi setiap perempuan untuk menunjukkan bahwa kehidupannya lebih baik daripada orang lain, itulah cara mereka mengukur kesuksesan. Padahal, aku tahu isi periuk nasi mereka, sama saja dengan punya kami.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline